Million Pieces

1.6K 157 5
                                    

Jakarta, 2018.

Tay kembali ke kamar dengan perasaan gundah. Pertemuannya dengan Max barusan membuatnya kembali mengenang masa-masa indah di Bristol.

Waktu di mana mereka berdua tak saling mengharapkan sesuatu satu sama lain.

Waktu di mana mereka berdua tak dipenuhi dengan ekspektasi oleh satu sama lain.

Happier times.

Tay meletakkan sekantong belanjaan dan duduk di kursi sofa samping kasur. Ia mencoba memejamkan matanya, tapi sulit. Obrolannya dengan Max terus terngiang-ngiang di telinganya.

Semoga kematian yang memisahkan mereka. Tapi, bagaimana jika kematian itu datang lebih dulu? Apakah nasibnya akan berakhir sama seperti Tul dan Max?

Untungnya New keluar dari ruangan operasi dengan selamat meskipun gurat lelah terlihat di wajahnya. Tay memandangi wajah New yang tertidur menghadap ke arahnya. Sudah lama dia tidak mensyukuri betapa berharganya momen seperti ini.

Disentuhnya kening New. Kening yang dulu sering diciumnya sebelum tidur. Tay tersenyum perlahan. Dalam hati, dia diam-diam bersyukur atas kehadiran New di sampingnya.

"Aku minta maaf... Sayang, jangan tinggalkan aku." bisik Tay.

New yang belum sepenuhnya tidur, mendengar bisikan tersebut dan kaget. Tapi, dia berpura-pura tetap tidur. Tay lebih jujur jika New tidak tahu, and that kills him.

Keesokan paginya, Tay mendorong kursi roda New untuk mengajaknya ke depan ruangan ICU. Di sana, ada Max yang sedang terduduk lesu.

"Max, aku turut sedih. Semoga Tul segera bangun dan kita main bersama lagi." ujar New pelan.

"Terima kasih. Lu juga cepat sembuh, ya! Tay khawatir banget sama lo."

Tay buru-buru memberikan gestur diam agar Max berhenti membongkar rahasianya.

"Makasih doanya, Max. It's just one of unfortunate events. No one expected it." jawab New.

Setelah berbicara selama beberapa jam di ruang tunggu, New sudah harus kembali ke dokter untuk doctor visit. Tay mendorong kembali kursi roda New melewati sunyinya lorong rumah sakit.

"Tay?" tanya New hati-hati.

"Ya?"

"Makasih."

Tay terhenyak, "....."

"Nggak jawab?"

"Aku sayang kamu."

Dihentikannya kursi roda di tengah lorong dan Tay menghadap wajah New sambil berkata, "Maaf, dan aku sayang kamu.."

Tangan New langsung merangkul tubuh Tay dan mereka berpelukan dengan lama. Tubuh mereka seakan berusaha mengingat kembali kehangatan yang dulu pernah ada. Namun, sekarang hanya ada perasaan marah dan benci. Meskipun dia bersyukur karena Tay masih mau ada di sisinya, tapi entah kenapa, rasa benci lebih menguasai hatinya. 

"Saat aku dengar kamu jatuh dari tangga, hatiku mencelos. Kamu nggak tahu cara membenarkan lampu dan aku dengan egoisnya meninggalkanmu sendirian. Seharusnya aku nggak boleh seperti itu. Maaf, dan sekali lagi, aku minta maaf." ujar Tay sambil menahan air mata.

New hanya diam. Dia tidak mau mengatakan apa pun. Baginya, jawaban apa saja akan membuat Tay kegirangan dan mengira kalau New sudah kembali menerimanya; setelah New terkulai tak berdaya di rumah sakit akibat patah tulang, bukan karena Tay benar-benar peduli padanya. ia juga tahu benar seperti apa perilaku Tay. Ini bukan pertama kalinya New mendengar permintaan maaf Tay. Dan New tidak mau jatuh ke dalam lubang yang sama.

Dilepasnya pelukan Tay. Saat mata mereka bertemu, New hanya bisa memandangnya sambil menahan pedih hatinya. Saat perawat lewat di depan mereka, New meminta tolong untuk didorongkan sampai kamar.

Diamnya New membuat Tay putus asa. Bahkan, New tidak berpamitan untuk kembali ke kamar. Tampaknya, kepercayaan New kepadanya sudah benar-benar hilang.

Sesampainya di kamar, New sudah tertidur. Wajahnya masih seolah tanpa berdosa. Tay mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Off.

"Off?" sapa Tay.

"Ya, Tay?" balas Off,

"Kamu di mana? Boleh ketemu?" tanya Tay.

"Kerja, lah, Bos. Sini ke kafe!"

"Okay, aku ke sana."

Untungnya lokasi kafe tidak begitu jauh dari rumah sakit. Tay hanya perlu naik Busway daripada harus terjebak macet di Jalan Dr. Satrio. Sesampainya di kafe, Off langsung memeluk Tay.

"Gue tahu lu pasti sedih. Gue pelukin aja, tapi gak boleh gue cium." ujar Off sambil memeluk Tay.

"Sial!" umpat Tay.

"Bercanda, Bro. Sini duduk dulu. Gun! Suguhin kopi ke temen lu, nih!" suruh Off.

Gun mengacungkan jempolnya sebagai tanda setuju. Dari momen Tay yang tiba-tiba menelepon Off, Gun sudah merasakan ada yang tidak beres dari hubungan mereka. Tak butuh waktu lama, Gun sudah menyuguhkan Vanilla Latte hangat untuk Tay.  Air wajah Tay mendadak muram setelah melihat kopi yang disuguhkan.

"Ini kopi kesukaan New.." ujar Tay pelan.

Off yang mendengar kalimat itu, hanya bisa menepuk pundak Tay perlahan. Tak ada yang berani memberi pendapat hanya untuk memojokkan pelaku dari kapal yang karam. 

"Gimana kabar New? Maaf kami belum bisa jenguk lagi karena kafe lagi sibuk banget." tanya Gun untuk membuka pembicaraan. 

"Sudah baikan. Tapi masih butuh fisioterapi dan dua hari lagi baru bisa pulang." jawab Tay. 

Off memberanikan diri bertanya, "Lu gak papa?" 

Senyum getir Tay terpasang di wajahnya. "Do I look okay?" tanya Tay balik.

"Nggak, sih. Tapi, lu bisa cerita sama kami. Hubungan kalian memang sedang nggak baik juga, 'kan? Siapa tau kami bisa bantu." 

"Terima kasih, tapi sepertinya kami sedang butuh waktu sendiri. Terlalu rumit." 

"Oke kalau gitu. Setidaknya gue ngerasa legaan dikit." 

Suasana kembali hening. Hanya terdengar desisan Tay yang sedang menyesap kopi. Ketiganya saling hanyut dalam diam. Off tahu, sekarang otak Tay sedang terlalu kusut untuk mencerna semua masalah ini. 

"Guys, sepertinya aku butuh bantuan kalian..." pinta Tay. 

"Iya. Apa?" jawab Off. 

"Beri tahu New, aku akan pindah dari condo dan berdiam diri untuk sementara waktu. Tolong rawat dia sampai dia mau menerima aku kembali." 

Gun mulai panik, "Tay! Lu yakin--" 

"Gun, Off. Aku mohon." 

Dengan berat hati, Gun dan Off mengiyakan permintaan tersebut. Setelah mendapat kepastian, Tay bangkit dan keluar dari kafe meskipun kopinya belum habis. Ia melihat lagi kedua temannya dari kaca luar kafe. Mereka akan menyampaikan pesannya dengan baik.

Kini, Tay harus kembali ke condo untuk mengemasi barangnya, dan mencari tempat tinggal lain. Mungkin New akan berubah pikiran setelah kepergiannya. 



You have to let him go. 

You have to. 

Have.

- Tay 

We Used to be in Love | TAYNEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang