Lovebug

1.5K 178 0
                                    

New menyandarkan sandaran kasurnya dengan susah payah. Setelah Tay datang dan langsung mengatasi semua masalah, Off dan Gun pamit pulang karena harus terus bekerja di kafe. Tinggallah Tay dan New yang hanya diam dalam ruangan yang dingin dan sepi.

New kembali menarik tuas di sebelah kasurnya.

"Kenapa?" tanya Tay.

"Aku ingin menaikkan sandaran kasur..."

Tay segera mengambil sebuah remote dari bawah kasur dan memberikannya pada New, "Ini 2018. Semua kasur sudah pakai remote."

Mendengar tanggapan Tay yang sebenarnya berlebihan, membuat New sedikit kesal. Tapi, dia tak ingin menambah api dalam hubungan mereka yang sudah di ujung tanduk.

Setelah berhasil menyenderkan bagian kasur, New mencoba memejamkan mata. Dua jam lagi, dia akan dioperasi. Tak pernah seumur hidupnya ia menyangka akan menghadapi operasi patah tulang. Bahkan, New hanya pernah diopname di rumah sakit dua kali: saat ia sakit demam berdarah dan tipes.

"Bagaimana bisa jatuh?" tanya Tay membuka percakapan saat New sudah hampir masuk ke alam mimpi.

"Aku mengganti lampu, lalu jatuh."

"Kenapa nggak tunggu aku?"

"Aku nggak tahu apakah kamu akan kembali lagi atau tidak." jawab New sambil menatap lurus ke mata Tay.

Jawaban New membuat Tay terhenyak. "Kenapa terpikir begitu?"

New memalingkan wajahnya, "Karena kamu pergi bawa baju."

"Kamu bisa tanya kapan aku balik saat aku ke luar condo."

"Sepertinya bertanya bukan keputusan yang baik."

Tay kembali terdiam. Ibarat dalam catur, jawaban New barusan membuatnya skakmat dan tidak bisa melanjutkan perdebatan.

Dua jam kemudian, New dibawa ke ruang operasi. Sebelum masuk ke ruangan, Tay menggenggam tangan New seraya berkata, "Comes out alive, Hun."

New hanya tersenyum getir sambil menahan sakit dari suntikan bius. Selama New dioperasi, Tay tak henti-hentinya berdoa. Meskipun kecil kemungkinannya kalau New akan bermasalah, tapi tetap saja ia takut. Setidaknya, rumah sakit mahal ini bisa meyakinkan dirinya kalau New ada di tangan yang tepat.

Tiga jam berlalu dan akhirnya New ke luar dalam keadaan masih terbius total. Tay melihat wajah lemahnya. Malamnya, New akhirnya terbangun dan mendapati Tay tengah menatap wajahnya.

"Operasinya sudah selesai?" tanya New setengah sadar.

"Sudah. Mau makan?"

"Nggak."

Keduanya kembali terdiam.

"Jam berapa?" tanya New kembali untuk memecah keheningan.

"Jam 10 malam."

"Pulanglah. Kamu besok kerja."

"Nggak." jawab Tay bersikeras.

"Okay. Terserah."

"Maaf."

New kembali terdiam dan memilih mengabaikan Tay.

"Aku bilang, aku minta maaf." tegas Tay.

"Are you even serious about it?"

Tay menggenggam tangan New. "Yes, I am serious. Aku nggak bakal ngulangin kesalahan yang sama! Aku serius, New. Hargai aku!"

New hanya mengangguk sekenanya, lalu memilih memunggungi Tay. Melihat reaksi New yang tak terlalu baik, ia memilih bangkit dan mengambil tasnya.

"Aku merokok di luar. Kalau butuh apa-apa, hubungi aku." pamit Tay yang sama sekali tak digubris oleh New.

Tay ke luar kamar dan memilih pergi ke taman rooftop rumah sakit untuk merokok. Sebenarnya, dia tak terbiasa merokok. Namun, semenjak pekerjaannya yang banyak menuntut profesionalitas, rokok teman terbaik untuk melepas segala kepenatan hidup.

Dinyalakannya rokok di tengah angin malam yang berhembus kencang.

"Tay?" sapa seseorang dari belakang.

"Max?"

"Yup. Lama nggak ketemu. Apa kabar?"

Max dan Tay saling berpelukan, "Hmm. Sudah lama banget, sih." jawab Tay dengan senang.

"Wah, iya, ya. Semenjak lu pindah ke Indo lagi, gue nggak ada kontakan lagi sama lu."

"Sorry, aku terlalu sibuk. Kabar Tul?"

Max terdiam sebentar, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. "Boleh minta api?" tanya Max.

Tay menyuguhkan puntung rokoknya yang sudah hampir habis.

"Thanks, bro."

"Sama-sama."

"Tul lagi dirawat di rumah sakit ini. Makanya gue di sini, lalu ketemu sama lu."

"Sakit apa?"

"Dia sudah sebulan ini nggak sadarkan diri setelah jatuh di kamar mandi. Koma lebih tepatnya."

Tay terhenyak kaget. Tul yang ia kenal sebagai orang yang periang dan petualang, tiba-tiba terbujur tak sadarkan diri di rumah sakit? Itu bukan tipikal Tul.

"Aku turut sedih." ujar Tay pelan.

"Makasih. Lu ngapain di sini?"

"New patah tulang. Tadi siang dioperasi, malam ini baru siuman."

Max tertawa dengan lepas sambil menahan perutnya. Ditepuknya pundak Tay, "Ada apa dengan pacar kita, ya, Tay? Pacar gue koma, pacar lu patah tulang dan di rumah sakit yang sama! Aneh banget."

Tay tersenyum kecut. Kedua perbandingan itu tidak setara. New hanya patah tangan sedangkan Tul sudah tak sadarkan diri.

"Lu ingat dua tahun lalu? Pas gue dan Tul lagi ke London? Kalian berdua baik banget mau jabanin Tul yang seribet princess. Apalagi New bisa bikin Tul ngerti kalo misalnya cinta perhomoan ini nggak sebatas fuck-eat-sleep. Gue senang kami ketemu kalian." jelas Max.

Hubungan Tul dan Max berawal dari kerja sama mereka sebagai partner model. Badan tegap dan gagah mereka berdua memang membuat para twink berteriak kegirangan. Takdir berkata lain. Max dan Tul yang sering bekerja bersama, mulai jatuh hati. Namun, Tul mengakui kalau dia lebih suka dengan femboys dibanding jenis seperti Max. Hubungan mereka berawal dengan FWB. Saat Max mengenalkan Tul ke Tay, reaksi Tay benar-benar kaget. Hubungan mereka berdua tak seperti pasangan lainnya. Max selalu dikecewakan dengan Tul yang suka berjalan dengan pria lain. Saat mengenalkan diri kalau mereka berpacaran, Tay hanya bisa berharap kalau sahabatnya baik-baik saja.

Benar saja, hubungan Max dan Tul mulai merenggang saat Max sibuk bekerja di Australia selama satu bulan. Tul mulai kembali ke dirinya yang dulu. Saat itulah, Max menghubungi Tay agar bisa mengajak Tul ke London. Tak disangka pertemuan kedua pasangan itu banyak mengubah kebiasaan lama mereka.

"Lu inget pas kita ke 80's club yang di Fulham Road... hmm... namanya apa?" tanya Max berusaha mengingat.

"Maggie's Club."

"Bener!! Inget nggak betapa gilanya kita pas lagu Tiffany diputar?"

Tay berusaha menahan tawa mengungat reaksi gila Tul saat lagu kesukaannya diputar. "Tul yang pakai baju latex ketat tiba-tiba ke tengah semua orang dan menari kayak orang gila?"

"Bener."

Tay menambahkan kembali, "Dan kamu ingat ketika kita berempat minum Hennessy ditemani bintang-bintang?"

Max tersenyum senang, "Take me back to those time, please."

"Me too..." ujar Tay sambil tersenyum getir.

To be continued...

We Used to be in Love | TAYNEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang