First Dance

1.7K 148 2
                                    

London, Agustus 2014.

Jam menunjukkan pukul 21.30 PM. Saat semua orang sedang bersiap tertidur, keempat sekawan tengah sibuk merias diri untuk pergi menari dengan bebas di Maggie's Club. Tul menarik legging latex super sempitnya agar bisa meraih pahanya.

"Max, bisa tolongin tarik di bagian pantat gue? Sempit banget gila." pinta Tul kepada Max yang juga sama sibuknya membenarkan kostum ala band Sex Pistols.

"Coba sini lihat pantatnya."

Max berusaha menarik sekuat tenaga namun latex yang tidak mudah kendur itu mengalahkannya. Ia memukul pantat Tul yang merekah bak buah ranum. "Begini aja, Babe. Seksi. Gue bisa cubit pantat lu terus."

Tendangan melayang di depan wajah Max. "Nggak lucu! Minta bantuin New aja, deh. New!!"

New yang sedang memasangkan dasi untuk Tay langsung menyahut. "Ya, Tul?"

"Bisa tolong tarikin bagian pantat gue? Nggak lucu kalo gue pergi kayak gini."

Tak butuh waktu lama New menarik celana latex Tul hingga menutup pantatnya.

"Kok bisa, sih?" tanya Tul penasaran.

"Ada resleting di sampingnya."

"Astaga! Gue nggak tahu!!!"

Tay langsung menempeleng kepala Max dengan bercanda. "Nggak berguna badan besar kamu, Max!" ejek Tay.

"Eh, gue nggak tahu ya soal baju ginian. Lagian dresscode 80-an aja malah pilihnya baju aerobik. Aneh banget." ujar Max untuk membela dirinya sendiri.

"Lo-nya aja yang nggak tau style!" balas Tul tak mau kalah.

New dan Tay saling berpandangan dan menahan tawa mereka. Pertengkaran sepele seperti itu kerap terdengar semenjak kedatangan mereka tiga hari yang lalu. Malam ini adalah malam terakhir mereka berlibur di London sebelum Max dan Tul pergi ke Eropa dan Tay dan New kembali ke Bristol.

Tay memandangi pakaiannya di cermin. Pakaian yang ia pakai adalah gaya Andrew Clark dari film The Breakfast Club dengan jaket varsity, tank top ketat berwarna biru, dan mom jeans high waisted. Sebagai pasangannya, New berpakaian seperti River Phoenix di film My Own Private Idaho lengkap dengan jaket berwarna batu bata, jeans berwarna kekusaman, dan kacamata hitam yang khas.

"You look good. Sayangnya, nggak berotot kayak Andrew Clark." puji New.

"Ah, sial. Daripada kamu. Film itu kan tahun 90-an? Nggak cocok dengan tema club-nya."

"River Phoenix is my first crush. So, shut up."

"Whew, chill. Tapi aku cemburu kalau first crush kamu setampan itu."

New tersipu malu. "Kamu lebih tampan." pujinya.

Max dan Tul yang mendengar obrolan mereka pun langsung menggoda. "Yah, Tay mah hanya sebatas upil dibanding sama River Phoenix yang ganteng mampus itu." ejek Max.

"Ho'oh, bener." dukung Tul.

"Oh begitu? Aku tinggalkan di London saja kalo gitu." ancam Tay

"Yah, yah. Bercanda kali. Udah pada siap?" tanya Max.

"Udah!" jawab Tay, New, dan Tul serempak.

"Yuk, berangkat!"

Mereka berempat pun berangkat bersama menuju Maggie's Club, sebuah bar yang khusus memutar lagu khus 80-an. Sebagai pecinta tahun tersebut, Max dan Tul sangat antusias untuk mengunjunginya. Sebenarnya, Tay mengusulkan agar mereka berempat pergi ke Jazz Club atau semacamnya. Namun, Tul langsung menolak dengan alasan, "Aku nggak mau menye-menye di luar negeri. Cukup di Jakarta yang keras aja."

We Used to be in Love | TAYNEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang