ra p u h

27 5 1
                                    

Pagi ini gue merencanakan untuk bolos pelajaran, tapi gue gak tahu cara nya gimana. Gue mengecek dahi gue, ah ga panas. Pasti ayah ga akan langsung percaya kalau gue berasalan pusing.

Karena gue ga berhasil menemukan alasan yang tepat, akhirnya gue terpaksa berangkat ke sekolah. Dengan langkah gontai gue bergabung di meja makan.

Seperti biasa gue hanya di suguhi roti selai, yang sejujurnya gue bosen banget makan ini. Pengen banget ngerasain nasi, micin yang berpadu damai dengan kecap, garam dan bumbu lain nya diatas piring.

"Yah...," Panggil gue pelan. Ayah Baekho belum merespon, beliau hanya berdeham tanpa melirik gue yang sekarang menatap ayah Baekho penuh harap.

"Uang jaj--"

"Pokoknya kamu ga dapat jatah uang saku dari ayah selama setahun."

Dengan segera gue menundukkan kepala, melihat belahan rok gue yang terlihat mulai kusut. Sempat gue lirik Woojin yang ternyata memelankan acara kunyahan makanan dalam mulut nya, tatapan nya yang nyebelin berubah drastis menjadi iba kearah gue.

"Ayo berangkat!"

Gue menarik tas gue dengan pelan, terus mengikuti langkah Woojin yang lebih cepat dari biasanya.

Selama di perjalanan, gue hanya diam menyenderkan kepala gue pada kaca jendela. Kalau di tanya gue sedih, jelas sedih banget karena biasanya gue selalu dikasih uang jajan sama ayah gue, dan sekarang seperti ada yang hilang.

Bukan berarti kehilangan uang, tapi gue kehilangan salah satu bentuk perhatian ayah pada anak nya. Biasanya teman-teman gue selalu membanggakan ayah nya karena bila meminta uang pada ayah mereka pasti akan di beri lebih dari jumlah yang diminta.

Lain hal nya dengan gue sekarang, selama setahun gue gak dikasih uang jajan. Minta ke siapa lagi selain ke ayah? Sementara ibu gue udah beristirahat dengan tenang diatas sana.

Sampai disekolah, gue mencium punggung tangan ayah tanpa sepatah dua patah kata yang biasanya gue lontarkan sebagai penyemangat ayah untuk bekerja.

"Ihh teh Ara kenapa muka nya kusut gitu?"

Tepat di depan kelas gue menemukan Daehwi yang duduk menghalangi pintu masuk.

"Misi mau lewat," Ujar gue tanpa membalas pertanyaan Daehwi. Bukan berarti gue mau bersikap judes sama dia, gue mau aja menjawab pertanyaan dia, tapi entah kenapa gue males banget buat jelasin keadaan gue sekarang.

Awal pagi gue yang buruk menyebabkan gue uring-uringan di kelas, Woojin yang berada di samping gue mencoba menghibur gue sewaktu istirahat. Namun candaan yang biasa nya jadi penaik mood malah engga berpengaruh apa-apa ke gue.

Gue menelungkupkan wajah di lipatan tangan gue sendiri. Sekarang gue butuh nangis, dada gue sesak dipenuhi pikiran-pikiran gue yang bisa dibilang negatif. Kedua mata gue juga siap meluncurkan air mata yang selama hampir tiga jam gue tahan biar ga nangis gitu aja.

"Heh kok nangis si," Bisik Woojin mengecek kondisi gue dari bawah meja. Gue merasakan tangan kiri nya merangkul bahu gue, dan tepukan hangat Woojin menjalari, memberi kenyamanan.

"Jangan nangis woi, ntar gue dituduh yang enggak-enggak," Bisik Woojin lagi. Kalimat nya bisa gue dengar dengan jelas meskipun dia setengah bergumam.

Gue akhirnya berhenti menangis, meskipun masih sesenggukan. Hari ini gue malu, kenapa gue secengeng ini sih.






Lanjut / Stop?

Ivy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang