BAB 30

15.1K 701 5
                                    

“Semua membutuhkan kepastian dan aku menuntut hal itu. Aku sudah lelah mengikuti bayanganmu. Aku lelah menyadari bahwa hanya mengikuti bayanganmu saja aku tak sanggup.”


    Hujan pada bulan Agustus. Bulan yang seharusnya menapilkan musim yang panas, menyirami kota Jakarta. Gerimis rintik yang sedikit deras itu tak mengubah fakta bahwa musim telah berubah secara total. Berbeda tanpa ada yang mampu mendeteksinya. 

    Namun satu hal yang membuat hujan ini menjadi sangat istimewa. Dimalam yang dingin, kedua orang itu hanya terdiam. Saling berpelukan diatas sofa panjang yang sengaja diletakkan untuk menonton televisi di ruang keluarga. 

    Jean, tertidur dengan tubuh Odelia yang ikut terbaring diatasnya. Tangannya tak hentinya membelai rambut wanita itu. Kedua orang itu terdiam untuk waktu yang cukup lama dan memilih bertahan pada posisi mereka masing-masing. Keduanya seolah enggan menggerakan atau memindahkan posisinya karena lelah. 

    “Sampai kapan kau akan terus seperti ini?” Odelia menggeliat tak nyaman berada diatas pria itu. Pasalnya, sejak dirinya berakhir dalam pelukan pria itu Jean bukannya membawanya kekamar, pria itu malah membawanya ke ruang keluarga. Ia hanya khawatir jika Grace yang baru bangun dari peristirahatannya terkejut melihat posisi mereka yang terbilang intim ini. 

    “Memangnya kenapa?” Jean mengertukan keningnya tak suka. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang kecil milik istrinya itu. Salah satu dari hal lainnya yang tak disadarinya, Odelia terlalu kurus untuk tumbuh menjadi seorang wanita dewasa. Dengan tubuh sekecil ini tentu akan menyamarkan statusnya yang telah bersuami. Apalagi tubuh itu belum mengeluarkan satu kepala dari rahimnya. Sudah pasti banyak yang mengira Odelia adalah seorang perawan. 

    Sontak mengingat hal itu, Jean ingin sekali memenjarakan wanita itu. Kalau perlu Jean akan membuat sangkar yang dilapisi oleh aliran listri agar tak ada yang berani mendekati istrinya itu. Entah mengapa pikiran posesif itu terlintas. Egonya hanya terlalu tinggi untuk mengakuinya. Ia menapik bahwasannya perasaan itu hanya keinginannya untuk memejanrakan wanita itu disisinya. Baginya tak ada yang bisa merebut Odelia darinya. Hanya dirinya yang berhak atas wanita itu secara keseluruhan. 

    “Bagaimana kalau nenekmu mengetahuinya?” 

    Odelia gugup. Jantungnya berdebar dengan keras diantara denyut nadinya yang ikut menambahkan daftar ketegangannya ia saat ini. Siapa yang mengira bahwa mereka akan berakhir dengan posisi yang sangat intim. Jean dengan tanpa malunya melingkarkan tangannya disekeliling tubuh Odelia yang tengkurap diatas dada bidang lelaki itu. Tanpa mengernyit karena bobot tubuhnya, Jean dengan santainya menggedikkan bahunya seolah apa yang diucapkan oleh wanita itu adalah suatu keanehan. 

    “Kita suami istri. Akan sangat mudah menjelaskannya ketika mereka mengetahui status kita.” 

    Odelia ingin mengerang frustasi. Tapi hal itu ditahannya. Ia tak ingin begitu saja luluh akan pesona pria itu. Cukup sekali, ia sudah menganggap itu sebagai pelajaran yang sangat berharga. Kebencian lelaki itu mungkin masih ada. Namun untuk saat ini tak nampak jelas karena kepandaian pria itu dalam memainkan emosinya dengan baik. 

    Odelia sedikit takjub saat Jean terlihat begitu mudah menipu semua orang. Pria itu mampu mengubah mimik wajahnya disertai dengan peringainya yang bak suami penyayang dihadapan semua orang. Meski begitu, Odelia sama sekali tak tersentuh. Ia tahu apa yang dilakukan pria itu hanyalah sebuah sandiwara. Mereka tak pernah benar-benar bahagia seperti yang pernah tergambarkan dimata orang luar. Mereka seperti ini hanya sebuah kebutuhan, seperti halnya Jean yang menyentuhkan diatas ranjang mereka. 

A Broken Marriage ( COMPLETED in GOOD NOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang