Dua: Tari

109 18 2
                                    

Bentuk, pose, adalah hal pertama yang ada dalam komposisi tari. Dalam bentuk, penari diam, menunggu. Mereka menunggu irama, ketukan pertama dari musik yang akan mengiringi gerak mereka, yang keberadaannya akan segera melebur dengan mereka. Gerakan pertama setelah musik terdengar terasa seperti tarikan napas pertama sehabis menyelam dalam, setidaknya begitulah rasanya untuk Eran.

Musik meresap ke seluruh aliran darahnya seperti adrenalin halus, tidak membuatnya hiperaktif, tapi menyebabkan getaran kecil yang memulai dinamika gerak kepala, kaki, tangan dan tubuhnya. Kali ini, bersama lagu "Stand by Me" milik Ben E. King, Eran menarikan koreografi kontemporer yang dia buat sendiri.

Ada suatu cita tersendiri yang diberikan oleh tari kontemporer, yaitu kebebasan. Jangan salah paham, Eran mencintai tari tradisional. Dia selalu bercerita dengan bangga bagaimana menjadi salah satu penari kerseus di sebuah festival tari internasional di Jakarta. Hanya saja, pola lantai, arah hadap dan tataran dalam tari tradisional telah ditata untuk menyampaikan suara dari masa lampau, menyampaikan sejarah dan budaya. Eran merasa terhormat mampu menyuarakan mereka lewat tari tradisional. Namun ada kalanya, Eran ingin mengutarakan gagasannya sendiri. Adalah tari kontemporer yang mewadahinya di saat itu.

Ketika dentum terakhir di lagu "Stand by Me" menghilang di udara bersama engahan Eran, suara tepukan tangan terdengar dari arah pintu. Eran tidak perlu melihat siapa penontonnya barusan, hanya ada dua orang yang datang ke Studio D di Sanggar Tari Uluka ini sore-sore begini. Alih-alih menyapa para pendatang itu, dia merebahkan dirinya di lantai kayu sambil mengambil napas.

"Lumayan, bro," ujar salah satu penontonnya tadi. Seorang laki-laki dengan hidung mancung, rahang tajam dan rambut yang mencuat melawan gravitasi memasuki jarak pandangnya untuk memberinya cengiran kuda. Eran mengerang melihatnya. "Gue kira lo nggak akan datang. Katanya lo harus ngurusin klub tari atau apa lah beres sekolah," Arga—si penyengir kuda—berkata.

Seseorang yang lebih enak di lihat masuk ke jarak pandang Eran dan memberikan handuk kecil kepadanya. Cewek itu, Irene, pacar Arga, adalah makhluk paling rupawan yang Eran pernah lihat. Dia punya mata berbentuk almond yang memesona, wajah berbentuk hati dan bibir tipis. Bersama Arga, mereka terlihat seperti power couple yang mengintimidasi. Untungnya, kepribadian supel Arga cukup untuk menghapuskan kesan itu.

"Latihannya beres lebih awal," jelas Eran, tiba-tiba teringat si ketua klab masam, Sleina Ilonka, "anak-anaknya nggak begitu semangat soalnya. Magang lo sendiri gimana?"

Arga tersenyum congkak, "Murid-murid bule gue bilang gue 'handsome.'"

Eran dan Arga adalah teman sejurusan, seangkatan dan sekelas di kampus. Eran tidak ingat bagaimana mereka berkenalan. Tahu-tahu Arga sering datang ke kosannya untuk numpang tidur. Dinamika di antara mereka disebut Irene sebagai "bro-val" karena mereka lebih dari sekedar sahabat, mereka bro. Namun terkadang situasi menempatkan mereka sebagai rival dan keduanya menganggap serius—terlalu serius, menurut Irene—persoalan ini. Irene adalah adik tingkat mereka di kampus, meskipun dia kuliah jurusan Bahasa Perancis. Sekalipun usianya yang lebih muda, Irene, adalah penyuntik rasionalisme dan kedewasaan jika Eran dan Arga menjadi "terlalu bersemangat."

Terlepas dari persaingan sengit sesekali, Eran dan Arga adalah bro di dalam dan di luar kampus. Mereka punya ritual mingguan yaitu menyewa ruangan di Sanggar Tari Uluka milik ibunya Arga di daerah Dago setiap hari Rabu dan Sabtu. Agenda mereka di Studio D yang mereka sewa di sana selalu impromptu. Biasanya mereka mengulik tari kontemporer, tapi belakangn ini Arga dan Irene sedang mencoba-coba dansa ballroom (Eran hanya bisa melongo karena dia tidak punya partner).

Eran mencibir, "Gitu doang bangga. Lagian, lo ngapain sih magang di sekolah internasional? Bahasa Inggris lo nggak lancar-lancar amat padahal."

Arga berdecak. "Kan gue udah bilang, supaya gue bisa ngenalin budaya Indonesia ke penduduk asing. Niat gue mulia kan? Gue orang baik kan? Iya kan Renren?"

Seperti biasa Irene hanya berkedip mendengar Arga merusak namanya, "Iya, mulia, sampai kamu pamer tadi."

Eran terbahak, "Betul sekali, Irene. Pahalanya udah nggak di hitung lagi."

Ketika Arga sedang berada di tengah-tengah kereta api protes, Irene menghiraukan pacarnya dan bertanya pada Eran, "Apa Kak Eran udah punya visi untuk klab yang kakak latih di sekolah itu sekarang?"

Eran mengelus dagunya, berpikir, "Gue sih inginnya bisa komunikasi sama ketuanya untuk bisa paham klab itu lebih baik."

Eran tidak menggantungkan kalimatnya, tapi Irene mampu mendeteksi adanya kontradiksi yang akan menyusul kalimatnya. "Tapi?" desak Irene. "Kak Eran ngapain murid ketua itu?" tudingnya.

"Cuma sedikit provokasi untuk memotivasi." Eran mengangkat kedua tangannya dalam posisi menyerah. "Gue janji nggak akan berlebihan kok, dia kan murid gue, nggak etis nantinya."

Irene menghela napas, "Seriusan deh, Kak Eran harus lebih hati-hati kalau berurusan dengan orang. Ingat, Kak. Semua orang itu punya perkaranya masing-masing. Hal yang menurut Kak Eran baik, belum tentu baik untuk orang itu."

Eran memikirkan kata-kata Irene, yang sudah mulai pemanasan setelah menyumpal mulut Arga dengan handuk. Kemudian, dia memikirkan Selina Ilonka. Eran tahu Irene benar, tapi kasus Selina Ilonka begitu unik hingga Eran tidak bisa begitu saja menghiraukannya. Mungkin sedikit lagi provokasi akan membantunya.


Note: Tari Kerseus adalah tradisional Sunda yang ditampilkan oleh laki-laki mengenakkan sinjang dan bendo. Tari ini dikembangkan dari tradisi tayuban (berkumpulnya para menak) dan pada awalnya hanya ditarikan oleh bangsawan atau pejabat saja.


***

Bagaimana Eran akan memprovokasi Eli ya? Bagaimana reaksi Eli nantinya?

Jawabannya ada di bagian berikutnya~ So, please keep reading~

MoondanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang