Tiga: Teh Chai

107 18 2
                                    

"Pagi, Pak Eran!" Intensitas keceriaan di sapaan itu nyaris membuat Eran mengernyit karena rasanya dia sedang disapa matahari.

"Pagi, Kia." Eran menyapa balik.

Kiana "Kia" Aprisia adalah wakil ketua klab seni tari, sama-sama murid kelas XII seperti Selina. Meskipun begitu, wajah bundarnya, perawakan ciliknya dan matanya yang selalu berbinar-binar tulus itu membuatnya kelihatan lebih muda dari seantero kelas X. Tempo hari saat Selina memperkenalkan Eran untuk pertama kalinya ke klab seni tari, hanya Kia yang memberinya reaksi super. Anggota yang lain memberinya reaksi bagaikan temperatur 'hangat-kuku' (dengan pengecualian Selina yang auranya sudah sedingin tundra).

"Besok juga Bapak datang ke pertemuan klab kan, Pak? Demo ekskul sudah dekat nih dan kita harus dapet anggota baru," cerocos Kia.

Eran terkekeh dan memberinya anggukan sinkat. "Iya, saya datang kok."

Kia sedikit bersorak, nyaris melompat bahkan, kemudian berkicau lagi, "Terima kasih ya, Pak!" kemudian dia pergi berlari-lari kecil ke kelasnya, sekalipun dia tidak seharusnya terburu-buru mengingat waktu masih pukul 06.35 saat itu.

Eran ingat bagaimana Kia mengucapkan terima kasih secara personal kepadanya di akhir pertmuan pertama Eran dengan klab tari. Loyalitas gadis mungil itu terhadap klabnya dan terhadap seni tari itu sendiri tidak perlu diragukan. Optimisme dan ambisinya cukup kuat untuk menjadi dukungan moral bagi anggota-anggota lainnya.

Lalu Eran teringat Selina Ilonka. Eran menyadari kepribadian sang ketua itu ada di ujung spektrum yang berlawanan dengan sang wakil ketua. Segalanya tentang Kiana Aprisia adalah oposisi biner dari Selina Ilonka.

Ah, ngomong-ngomong soal anak itu...

Eran mendapati Selina sedang terduduk di bangku kafetaria seorang diri. Kedua tangannya memegang segelas minuman yang masih mengepul. Eran memesan kopi hitamnya dari penjaga kantin dan menghampiri Selina. "Pagi," sapanya.

Selina nampaknya ingin melesat secepat mungkin, tapi dia melirik tehnya dengan was-was seakan khawatir mereka akan tumpah kalau dia bergerak tiba-tiba. Pada akhirnya, dia memilih untuk tetap duduk. "Pagi... Pak," sapanya balik, canggung.

Eran menyadari jeda di antara dua kata yang dia tuturkan. Eran tahu dia memikirkan kata ganti yang dia gunakan untuk Eran, karena kemarin dia memanggil Eran "anda."

"Saya minta maaf kalau saya tidak sopan kemarin," ujar Selina, matanya menatap permukaan cairan beruap di gelasnya. "Um... Bapak adalah pelatih kami... jadi harusnya saya tidak bicara begitu pada... Bapak."

Eran tidak bisa langi menahan tawanya. Dahi Selina berkerut, jelas-jelas tersinggung permintaan maafnya ditertawai. "Maaf, maaf," ujar Eran setelah dia berhenti, "tapi kamu nggak perlu memaksakan diri begitu. Saya nggak tersinggung dengan kata-kata kamu. Jadi diri sendiri saja."

Selina mengedip bingung, tapi akhirnya mengangguk. Dia kembali menatapi minumannya, kelihaatan tidak sabar. Dia terlihat seolah-olah sedang memarahi minuman itu karena mereka masih tetap panas.

Eran tersenyum ketika dia sadar dia mengenali aroma minuman Selina. "Teh Chai, ya? Memang enak untuk pagi-pagi dingin begini." Itu bukan teh umumnya disajikan di sebuah kafetaria sekolah. Dugaan Eran adalah Selina membawa tehnya sendiri dan hanya ke kantin untuk menyeduhnya. Eran bingung mengapa gadis ini tidak menikmati tehnya dalam tumblr saja, tapi dia menahan diri untuk berkomentar.

Selina memberinya tatapan bingung lagi, yang Eran mulai nikmati sekarang. Gadis ini punya wajah elok yang akan lebih mudah diapresiasi jika dia tidak terus menerus memasang wajah bosan atau masam.

Mendengar pertanyaan dalam diam gadis itu, Eran menjawab, "Orang tua saya bekerja di industri teh. Saya tahu sedikit banyak lah tentang teh."

Binar di mataya cukup menjadi indikator bahwa gadis ini adalah seorang penggemar teh. Eran baru mau menawarkan diri untuk berbagi informasi tentang teh ketika ibu kantin memanggil namanya.

MoondanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang