Enam: Kecewa

54 11 0
                                    


Penampilan klab tari di acara demo ekstrakulikuler sukses besar. Faktanya mereka mendapat belasan anggota baru, sekitar tiga di antarnya adalah laki-aki. Itu nomor terbaik dalam tiga tahun terakhir.

Eli harus mengakui, sesuatu di dalam dirinya mengaum pelan ketika Eli, Kia dan Plata mendapat sorakan dari penonton saat mereka memasuki area tari. Begitu mereka memulai gerakan yang melibatkan secarik kain hitam panjang, Eli mendengar sorakan yang menggelegar. Tidak ada insiden tabrakan antara Kia dan Eli. Mereka bersepakat untuk berkompromi setidaknya sampai penampilan mereka selesai.

Ketika mereka semua membungkuk di akhir penampilan, Eli mendapati Eran menonton di barisan paling depan dan bertepuk tangan bersama para siswa baru. Diam-diam, Eran menunjukkan ibu jarinya pada Eli. Melihatnya, Eli tidak bisa menahan hembusan tawa kecil dari mulutnya.

--

Menari untuk demo ekstrakulikuler adalah satu hal. Kompetisi adalah hal lain sepenuhnya.

Ketika Eli menerima brosur kompetisi kreasi tari di sebuah universitas, jari-jarinya terasa kelu. Di sampingnya, Kia bergetar saking bersemangatnya (Plata tidak ada di sana karena sedang menghadir pertemuan klab panahan). Reaksi anggota-anggota kelas sebelas bercampur aduk dari penasaran sampai enggan.

"Seperti yang bisa kalian baca, di bulan Oktober nanti, akan ada kompetisi tari tingkat SMA di kampus saya," Eran mengumumkan. "Ada dua kategori yang ditawarkan, yaitu tari tradisinoal dan tari kontemporer asli. Meskipun kompetisi utamanya diadakan di bulan Oktober nanti, karena skala kompetisinya nasional, akan ada tahap preliminary mengingat banyaknya pendaftar. Tahap ini mungkin akan diadakan sekitar bulan September."

Kia memekik pelan dengan mulut bungkam. Dia menyikut Eli tidak sabar. Eli meliriknya dan matanya harus menyipit ketika dia melihat kilau kegirangan di mata Kia. Eli mengerti mengapa Kia begitu bersemangat. Terakhir kali mereka memijakkan kaki di panggung kompetisi sebesar ini adalah di kelas sebelas. Eli ingat bagaimana Kia tidak bisa bicara saking gugupnya sebelum naik panggung, tapi begitu dia di atas sana, monster tarinya lepas. Mereka menang juara dua. Tidak buruk.

"Nah, karena program pelatihan saya selesai di bulan September, saya hanya bisa membantu kalian sampai babak prelim," ujar Eran. Informasi ini mengundang protes dari beberapa anggota.

"Yaah. Sekalipun sudah nggak ngajar, Pak Eran tetap latih kita sampai akhir tahun dong."

"Heh, jangan ngawur! Pak Eran kan punya urusan juga di kampus."

"Iya. Pak Eran harus bikin skripsi. Iya kan Pak?"

Eran terkekeh. "Iya. Begitu program ini selesai. Saya harus fokus membuat laporan dan menyusun skripsi. Saya juga harus menyiapkan ujian praktek."

"Ujian praktenya seperti apa, Pak?"

"Mengadakan pementasan tunggal," jawab Eran bungah.

Pekikan Kia akhirnya lepas. "Wah! Keren banget, Pak! Apa pementasannya terbuka untuk umum? Apa kita boleh nonton nanti?"

"Boleh, dong. Tapi sekarang fokus dulu ke kompetisi kalian, oke?"

Semua yang ada di ruangan itu menjawab, "oke" serempak dan sedikit ditarik-tarik di suku kata terakhir, kecuali Eli. Dia baru sadar dia belum pernah benar-benar melihat tarian Eran kecuali ketika dia mendemonstrasikan suatu gerakan. Dia akui dia penasaran. Bu Jihan tidak berhenti bicara soal bakat Eran, dan Eli ingin menyaksikan buktinya langsung.

"Tentu ada juga isu seperti ujian, terutama untuk kelas dua belas." Begitu Eran mengatakannya, seluruh mata di ruangan itu tertuju pada Eli dan Kia. "Apa kalian bersedia untuk terus melanjutkan kegiatan klab ini? Apa kalian mau dan mampu membagi waktu antara klab ini dan persiapan ujian-ujian kalian?"

Tanpa adanya jeda, Kia langsung menjawab, "Saya akan terus lanjut, Pak."

Tidak ada satu pun yang terkejut dengan jawaban Kia, termasuk Eran. Sang pelatih tersenyum sambil mengangguk mengerti. Senyum itu menipis ketika dia berpaling ke siswa kelas dua belas satunya di ruangan itu. "Selina?"

Eli bermain dengan jari-jarinya selagi berpikir, dan panggilan Eran membekukan geraknya. "Saya..." Eli memulai. Dia kembali melihat jari-jarinya yang masih saling membelit. "Saya rasa saya butuh sedikit waktu untuk mempertimbangkan."

Banyak anggota kelas sebelas yang terkesiap kaget. Beberapa di antar mereka bahkan langsung dengan paniknya bertanya bagaimana nasib mereka nanti tanpa ketua.

Eli memberi mereka senyuman simpul. "Heh, jangan gitu ah. Kan ada Kia," ujarnya. Sungguh, mereka tidak seharusnya khawatir. Ada Kia. Kia yang jauh lebih baik dari dirinya di bidang tari. Kia yang begitu sayang pada klab ini dan semua di dalamnya. Kia yang adalah pancaran emosi yang membuat nyaman orang-orang di sekitarnya. Mereka akan baik-baik saja selama ada Kia. Dari awal, Kia lah yang seharusnya memimpin klab ini. Hanya saja, Eli terpilih karena dinilai lebih baik dalam beratikulasi dan manajemen.

Eli tersadar dari lamunan singkatnya dan mendongak menatap Eran. Tidak ada keterkejutan di wajah pelatihnya itu, seakan dia telah mengantisipasi respon Eli. "Baik. Saya mengerti," tuturnya singkat. "Saya harap kamu dapat memutuskan sebelum minggu depan. Saya berniat untuk mengevaluasi tarian semua anggota yang berminat untuk ikut serta dalam lomba, dan itu termasuk anggota-anggota baru kita."

Alis Eli bertaut. "Anda akan mengadakan seleksi?" tanyanya.

"Iya," jawab Eran tegas. "Ini krusial untuk penentuan komposisi dan formasi tari."

Eli tahu ini bukan tradisi ortodoks di klab mereka. Tahun kemarin, mereka masih punya cukup anggota pun sudah syukur. Ditambah lagi budaya orang Sunda yang mengutamakan prinsip 'tidak enak.' Pelatih sebelumnya bilang pada Eli bahwa dia merasa 'tidak enak' jika ada anggota yang sering hadir namun tidak diikutsertakan lomba, terlepas dari kemampuan mereka.

Tentu saja Eran tidak memberlakukan prinsip itu. Tentunya dia tidak menjadi penari hebat dan pelatih yang giat dengan bersikap lembek. Sejak awal dia sudah menetapkan tujuan besarnya untuk klab tari, dan dia tidak main-main.

Ada keteguhan aneh di dada Eli mengenai ini, seakan dia yakin kata-kata Eran bukanlah omong kosong picisan. Tapi, sungguh, seberapa besar Eli bisa percaya pada sentiment ini? Dia baru kenal Eran tiga minggu. Lagipula, Eli mungkin tidak akan menjadi bagian dari klab ini lagi ketika Eran membawa klab ini jauh ke suatu titik baru.

Yang akan terus ada di sini adalah Kia. Eli melirik wakilnya yang kentara sekali sedang menghindari tatapannya. Mereka tidak bisa dibilang teman dekat. Tapi setelah berada dalam satu klab selama dua tahun, mau tidak mau, Eli bisa membaca Kia sedikit banyak. Kia sedang berusaha terlihat baik-baik saja kendatipun merasa dihianati oleh Eli yang mungkin tidak akan kembali ke klab ini.

Kia mungkin memikirkan sesuatu seperti, mereka memulai perjalanan di klab ini bersama, mengapa mereka tidak mengakhirinya bersama juga?

Kekecewaan begitu kentara terpancar dari Kia saat itu sehingga Eli pun merasa getir. Lihat kan yang terjadi jika kau terlalu peduli pada sesuatu? Semakin kau peduli, semakin besar kemungkinan kau tersakiti.

Eli tahu betul akan itu.


***

there's more, go on...

MoondanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang