Empat Belas: Mimpi

52 8 0
                                    


Progres tim tari kontemporer melaju dengan kecepatan ekstra. Rasanya, ketiga anggota kelas dua belas itu didorong oleh sebuah urgensi, seakan mereka diburu waktu. Bukan hanya waktu hingga dihadapkan dengan kompetisi ini, tapi waktu mereka di klab tari secara keseluruhan.

Eran benar-benar kagum melihat tim kontemporer. Mereka tidak hanya menyelesaikan PR mereka untuk membuat narasi, mereka juga menunjukkan pada Eran hasil riset mereka tentang tarian-tarian dari penari lain yang bisa menjadi panutan mereka.

"Jadi, kami mau menceritakan tentang pergolakan di dalam diri seorang laki-laki. Dua penari lainnya jadi perwujudan sisi-sisi yang menarik-narik laki-laki ini," Kia menjelaskan. "Jadi inti narasinya adalah gimana laki-laki ini menyeimbangkan diri di antara dua hal ini."

Eran manggut-manggut mengerti. "Oke. Spesifiknya, apa yang menarik-narik laki-laki ini?"

"Realitas dan mimpi." Kali ini Eli yang menjawab. "Saya akan merepresentarikan realitas dalam tarian ini dan Kia akan merepresentasikan mimpi. Saya rasa ide ini menarik tapi juga tidak begitu rumit untuk dieksekusi, itulah sebabnya kami memutuskan untuk memilih ide ini."

"Kami ingin menampilkan gerakan-gerakan yang familiar dengan si Realita, jadi gerakan-gerakan tajam yang diambil dari tari tradisional. Dan dengan si Mimpi, kami membayangkan gerakan yang lebih bebas dan fluid."

Eran memikirkan penjelasan tim kontemporer. Eli benar, narasi mereka tidak abstrak sehingga tidak akan begitu sulit bagi Eran untuk membantu mereka merangkai koreografinya. Hanya saja ada yang dia rasa tidak pas. Eran melihat Eli dan Kia bergantian, berpikir.

Setelah sesaat, dia menyadari apa yang terasa janggal. "Ide yang bagus. Bisa mulai di eksekusikan, apalagi kalian sudah punya ide gerakan dari contoh-contoh yang kalian lihat, kan? Hanya saja, ada yang terasa kurang tepat."

Ketiga murid kelas itu bertukar pandang bingung.

Eran kemudian menunjuk Eli. "Selina, kamu yang akan merepresentasikan mimpi, sedangkan Kia akan merepresentasikan realitas."

Ekspresi kaget mereka bertiga datang dengan instan. Kia bahkan berseru, "Hah?" keras-keras. Eli hanya membelalak dengan dahi berkerut, seakan dia menganggap Eran sinting untuk sekedar menuturkan gagasan itu. "Anda tidak mungkin serius, kan?"

"Saya selalu serius, kok," jawab Eran dengan seringaian tipis.

"Eli lebih unggul menarikan sesuatu yang terstruktur," ujar Plata, kelihatan khawatir melihat keberangan dalam yang tergambar jelas di wajah Eli.

"Betul, tapi itu karena kamu hanya pernah mencoba tari terstruktur, betul kan Selina?" Eran melihat tatapan gusar Eli pecah menjadi gelepar. "Tapi karena belakangan ini kamu telah mencoba-coba hal baru, saya tahu kamu itu mampu berpikiran lebih terbuka dari kelihatannya. Ini kan kompetisi terakhir kalian di masa SMA, apa masih mau terus jalan di tempat?"

Plata dan Kia menatap Eli bingung ketika Eran menyebutkan 'mencoba-coba hal baru.' Baik Eran maupun Eli tidak menjelaskan pada kedua orang itu apa yang Eran rujuk dengan frasa itu.

"Seseorang tidak bisa asal keluar dari zona nyaman mereka. Kalau tidak didukung bakat, maka usaha itu akan sia-sia." Suara Eli pelan seperti desir, namun tajam.

Eran hampir mendengus mendengar kata-kata Eli. "Betul. Tapi saya tahu kamu punya bakat yang dibutuhkan," ujarnya anggak.

Eli membuka mulutnya seakan ia ingin mengatakan sesuatu, namun dia mengurungkan niatnya. Matanya mulai dilapisi ketidakfokusan yang menandakan dia sedang berpikir. Bahkan setelah semua yang terjadi sampai detik itu, Eran masih mempertahankan gagasan awalnya untuk mendorong Eli pada sebuah tantangan progresif. Terutama sekarang setelah melihat betapa giatnya dia berlatih dengan Irene.

MoondanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang