Sembilan: Alasan

59 12 1
                                    


Langkah Eran terhenti ketika melihat seseorang berdiri di mulut pintu studio tari yang terbuka. Setelah menyadari siapa orang itu, Eran bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Eli lakukan di sana? Dia sedikit berharap bahwa ini artinya Eli telah memutuskan akan kembali aktif. Namun kemudian Eran menyadari Eli tidak menggunakan baju untuk latihan, melainkan seragam putih abu standarnya. Ini artinya Eli punya urusan lain.

Kemudian Eran mendengar gema suara orang lain dari dalam studio tari. Seseorang sedang berbicara pada Eli dari dalam sana. Sekilas, Eran dapat melihat warna oranye terang bergerak dari dalam studio. Ah, itu Kia. Tidak ada lagi yang pernah mengenakan pakaian seterang itu untuk latihan kecuali si wakil ketua mungil.

Hal pertama yang bisa Eran dengar dengan baik dari apapun itu yang mereka bicarakan adalah, "Jawab dulu aja sih," dari Eli.

Bunyi ketukan dari dalam studio terhenti, suara Kia terdengar lebih jelas. "Jawaban gue nggak akan cukup buat lo."

Eran melihat Eli mendongakkan sedikit kepalanya, "Aku tetap ingin dengar langsung dari kamu."

Sebuah helaan napas terdengar, lalu, "Gue berusaha keras karena gue ingin menang, gue ingin jadi lebih baik."

Hening sesaat, kemudian Eli bertanya lagi, "Kenapa kamu ingin menang?"

Respon Kia instan, seakan Eli baru menanyakan sesuatu yang tidak masuk akal. "Hah? Ya karena aku manusia. Nggak ada manusia yang ingin kalah."

Eli bergeming di tempatnya. Eran tidak bisa melihat ekspresinya, namun dia rasa gadis itu masih tiak puas. "Tapi, apa alasan kamu sebenarnya?" tanya Eli bersikeras.

"Alasan?" ulang Kia, terdengar makin heran. "Memangnya orang butuh alasan untuk nggak mau kalah?"

Eran tertegun mendengar jawaban Kia. Gadis mungil itu mengingatkannya pada dirinya sendiri. Setidaknya pada dirinya yang lebih muda. Dia pun sama. Dia merasa gerah ketika orang-orang bersikeras menanyakan alasan di balik keputusan yang dia ambil untuk mengejar masa depan di dunia tari. Selama dia bertanggung jawab atas pilihannya, dan selama pilihannya tidak menyakiti orang lain, tidaklah perlu untuknya mencari-cari alasan.

Namun disinilah situasi ini menjadi sulit. Mungkin ada yang pernah tersakiti karena sebuah pilihan di hidup Eli. Mungkin itulah sebabnya dia bersikeras mencari tahu. Dan jika memang begitu benarnya, jawaban Eran dan Kia akan sulit untuk diterima Eli.

"Daripada mikirn alasan, mending mikirin keputusan aja," ujar Kia. "Lo kebiasaan banget deh, kebanyakan mikir."

Eli mendengus, "Ya maaf saja kalau aku nggak impulsif kayak kamu. Asal kamu tahu aja, sebagian dari manusia tuh ada juga yang nggak bisa ngambil keputusan refleks, soalnya kita punya akal sehat."

"Ha! Buang-buang waktu aja!" Kia tidak terdengar tersinggung sama sekali, malah terhibur, "terserah deh lo mau uring-uringan kayak gimana juga. Yang jelas cepat balik ke sini. Gue ingin nunjukkin sama orang-orang bahwa tarian kontemporer kita itu superior."

Kia menggunakan kata 'kita' dengan ringannya, seakan dia tidak ragu sama sekali bahwa Eli akan kembali. Sejujurnya ini membuat Eran khawatir. Sejauh yang dia tahu, Eli tidak merespon provokasi dengan baik, apalagi kali ini datangnya dari Kia.

Memprediksi reaksi negatif Eli seperti waktu Eran memprovokasinya, Eran sempat berpikir untuk menyela percakapan kedua muridnya. Namun, di luar dugaannya, Eli hanya menghela napas dan berkata, "Aku masih punya waktu untuk berpikir, kan? Aku nggak mau buru-buru. Kalaupun aku kembali, aku nggak mau setengah hati. Nantinya kamu juga ikut keteteran."

Eran benar-benar tercengang. Dia mengira inferioritas Eli akan menyulut respon agresif yang tidak akan berujung baik. Alih-alih melihat hal semacam itu, Eran malah menyadari sesuatu: Eli menghormati Kia. Gadis itu juga menghormati klabnya. Alasan mengapa Eli mempertimbangkan untuk pergi adalah karena dia merasa sikap acuh tak acuhnya merusak dinamika klab. Dia tidak ingin itu terjadi karena dia begitu menghargai klab dan rekannya.

Gadis ini benar-benar... tidak biasa.

"Ah."

Ah?

Karena terlalu sibuk terjelengar, Eran tidak menyadari bahwa Eli telah berbalik dan melihatnya berdiri melongo tidak jauh darinya. Eran berdehem dan berusaha untuk tidak tampak seperti ikan yang magap-magap. "El—Selina," dia menyapanya dengan canggung sambil sedikit mengangguk.

Eli hanya berkedip-kedip menatapnya. Eran mulai merasa gugup Eli akan menudingnya menguping, yang tidak akan bisa dia sangkal karena itu benar. Tapi Eli tidak terlihat berang, jadi mungkin ini pertanda baik.

Eli mengambil beberapa langkah ke arah Eran. Dia membuka mulutnya seakan dia mau menanyakan sesuatu, namun terhenti sesaat. Dia merunduk sebentar selagi jari-jarinya mulai bermain dengan satu sama lain lagi. Posisinya ini selalu membuatnya terlihat begitu lembut dan patih. Eran hampir saja teralihkan perhatiannya. Untungnya, otaknya sudah siaga lagi ketika Eli bersuara.

"Apa anda mendengar percakapan kami?"

Ada alarm darurat di kepala Eran. Dia berusaha untuk tidak panik. "Iya... erm... maaf soal itu."

Eran mencari kemarahan atau sarkasme atau—dia merinding mengingatnya—pseudo-senyuman di wajah Eli. Namun yang ada hanyalah rasa ingin tahu yang bergelimang di matanya.

"Apa jawaban anda terhadap pertanyaan itu?" tanya Eli. Nada bicaranya tidak mendesak, dia terdengar tenang. "Anda pun sama, kan? Anda pun sekarang sedang bekerja keras untuk mencapai sesuatu... dan saya ingin tahu alasannya... kalau boleh."

Eli menuturkan dua kata terakhir dengan suara yang begitu kecil, dan itu membuat jantung Eran rasanya diremas-remas oleh tangan kasatmata. Dia ingin sekali memberi jawaban yang Eli dambakan, tapi dia tidak punya itu. Eran memegang belakang lehernya, salah tingkah.

Dia mencoba menjawab, "Ah, bukannya saya nggak mau membantu kamu El—Selina." Oi, yang becus ngomongnya bego! Eran memarahi dirinya dalam hati. "Hanya saja, saya nggak punya alasan mulia atau semacamnya. Saya melakukan sesuatu karena saya suka dan saya percaya diri saya bisa cukup baik di bidang itu sampai saya sukses," tambahnya.

Kekecewaan melintas di mata Eli dan Eran merasa ditonjok di kerongkongannya. Dari wajahnya saja, Eran bisa membaca yang terbesit di pikiran Eli, yaitu bahwa jawaban Eran dan Kia sama saja pada dasarnya, sama-sama tidak membatunya.

Eran memutar pikirannya sebelum Eli sempat pamit dan meninggalkannya. Karena tidak punya banyak waktu, Eran langsung menuturkan gagasan pertama yang merandai di benaknya, "Saya mungkin tidak punya jawaban untuk kamu, tapi saya kenal seseorang yang mungkin bisa membantu."

Salah satu alis gadis itu dinaikkan, dia kelihatan bingung, penasaran dan sedikit takut. "Siapa?" 


***

Who, indeed?

Find out next week, yes? ^^


ig/twitter: istorialina

MoondanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang