Lima Belas (Illustrated): Butir Es

41 6 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di pose terakhirnya, Eli menumpangkan kedua tanggya di depan mata kanannya. Mata kirinya matanya yang tidak tertutup menatap Eran lurus, fokus, namun tidak menusuk.

Saat itu, Eran merasa sedang disorot oleh sebuah sumber cahaya yang lembut, namun jelas, seperti cahaya bulan. Sebuah bulan sabit, tepatnya. Bulan itu belum berada di titik paling terangnya, namun ia sedang menuju ke sana. (Chapter 11)


***

Eli

"Whoa! Gerakan apa itu tadi!?"

Eli bersyukur dia sudah kembali berdiri di kedua kakinya ketika Kia memekik, kalau tidak, wajahnya akan menghantam lantai. "Itu namanya illusion," jawab Eli, sedikit kesal. Dia baru bisa melakukan putaran tanpa bantuan sanggaan tangannya, tapi dia masih belum stabil, dia masih mudah terjatuh.

"Belajar dari mana?" tanya Kia.

"Dari seorang ballerina," Eli menjawab. Ngomong-ngomong soal ballerina itu, Eli telah mengontak Irene untuk bicara tentang undangan Eran untuk datang ke workshop ballroom dancing di hari Minggu ini. Eli mencoba terdengar sesopan mungkin ketika memberitahu Irene bahwa dia tidak bisa datang.

Alih-alih mengomentari keputusannya, Irene malah mengundangnya untuk datang ke sebuah café es krim di dekat sanggar tari setelah latihannya beres nanti. Irene bilang hari itu hanya akan ada mereka berdua, jadi mereka bisa lebih bebas mengobrol. Setelah dengan ringannya berkata, "Ditunggu ya," Irene menutup teleponnya tanpa memberi Eli kesempatan untuk menolak.

Apapun itu yang ingin dibicarakan Irene dengannya entah kenapa membuatnya waswas.

"Eli!"

"Apa sih?" Eli merespon sewot, "Jarak kita cuma satu meter, nggak perlu teriak-teriak begitu."

"Habisnya lo melongo terus," Kia berkata. "Gimana progres prosi solo tarian lo?"

"Baik, seperti yang bisa kamu lihat sendiri."

"Nggak ada kesulitan?"

"Belum ada."

"Kalau ada yang bisa gue bantu bilang aja ya, gini-gini juga gue punya banyak pengalaman tari improv." Kia terkekeh di akhir tuturannya.

"Tunggu," ujar Eli ketika dia menyadari sesuatu. "Apa kamu khawatir sama aku?"

Kia tidak terlihat malu, dia malah langsung berseru, seakan pertanyaan Eli memicu sebuah refleks, "Hah? Ya iya lah! Kita kan satu tim. Kalau ada apa-apa juga gue kan larinya ke lo dan Plata. Lo juga harusnya gitu balik ke kita juga, percaya sama kita."

Di saat-saat seperti inilah Eli benar-benar yakin Kia bukan manusia. Eli terkadang ingin belajar dari Kia untuk menjadi begitu jujur dan sungguh-sungguh. Kalau Kia ada di posisi Eli, mungkin dia bisa menangani situasi dengan Eran lebih baik. Bagaimana kira-kira Kia akan menangani situasi itu?

MoondanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang