Tiga belas: Debu

52 14 1
                                    


Eli hampir tidak ingat bagiamana tepatnya dia bisa berakhir di kosan kakaknya. Ingatannya akan hal yang terjadi setelah mereka berpapasan di sanggar tari terasa seperti tertutup kabut. Jika ingatannya benar, maka yang terjadi adalah: dia bertemu Hara; Eran mengenalkan diri sebagai pelatihnya; Arga memanggil kakaknya Teh Hara, menandakan mereka telah kenal sebelumnya; Irene mengenalkan diri juga; Hara menawarkan pada Eli untuk mengunjungi kosannya yang berada di dekat sanggar; Eli mengikutinya tanpa mengatakann apa-apa; dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal pada Eran, Arga dan Irene.

Ah. Dia akan menerima banyak pertanyaan di kali berikutnya dia bertemu ketiga orang itu. Eli menahan diri untuk tidak mengerang keras-keras. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba korslet seperti tadi. Yang dia tahu, setelah kata 'Kakak' lepas dari mulutnya, dia merasa kebas.

Hara memasuki lagi kamar kosannya dengan dua cangkir cantik di atas sebuah nampan. "Kamu masih suka teh?" tanyanya selagi meletakkan nampan itu di atas meja kopi di depan bantal lantai yang Eli duduki. "Kakak cuma nyimpen black tea, punya Eli udah kakak kasih creamer seperti biasa. Nggak masalah kan?"

Eli mengangguk canggung. Sekilas, dia mengingat masa-masa lebih sederhana ketika mereka berdua masih sangat muda dan menghabiskan waktu di hari Minggu siang dengan mengadakan jamuan teh petang di kebun belakang rumah mereka. Kapan terakhir kali mereka meminum teh bersama?

Sejak Hara masuk kuliah, mereka jarang sekali bertemu. Jika Hara pulang dari kosan di akhir pekan, Eli sering tidak ada di rumah untuk ke perpustakaan atau ke sanggar tari Bu Jihan. Rutinitas ini terus berlanjut hingga Hara bekerja. Sekalipun Hara bekerja di Bandung, Hara memilih untuk tetap tinggal di kosan ketimbang di rumah. Eli menduga dirinya adalah salah satu alasan yang mendasari keputusan Hara. Apapun itu alasan sesungguhnya, selama bertahun-tahun mereka tidak pernah membahasnya.

"Eli?"

Eli tersadar dari lamunan singkatnya dan mulai menyesap isi cangkir yang disuguhkan padanya. Tehnya enak. Tentu saja. Ini kan kakaknya. Hara tahu bagaimana Eli meminum tehnya dari dulu.

"Aku nggak nyangka kamu juga suka latihan di sanggar sana," Hara memulai. "Apalagi sama Arga."

Eli meletakkan cangkirnya. "Aku baru latihan di sana dua kali," tuturnya.

"Waktu itu kakak pernah denger sih, katanya ada dopplegangger kakak yang nyariin temennya Arga—siapa tadi namanya tuh... Eran—tapi kakak nggak nyangka itu Eli," Hara bercerita dengan begitu similir. Jadi, kenapa udara di sekitar Eli terasa begitu pekat?

"Kakak," Eli memanggil Hara, dia menerima jawaban berupa gumaman, "Kakak menari lagi?"

Hara meletakkan cangkir berisi teh tanpa krimer-nya kembali ke atas meja, matanya tertuju kepada riak di permukaan teh itu selagi menjawab, "Sebenarnya, Kakak mulai nari lagi sejak kuliah tingkat tiga... Banyak yang harus di kejar, jadi Kakak nggak ikutan banyak kompetisi. Tapi kalau ada kesempatan untuk tampil dari sanggar, Kakak pasti ikut serta. Sebagai gantinya, setiap Rabu dan weekend, Kakak mengajar tari tradisional untuk anak-anak di sanggar."

Eli terdiam. Dia belum menemukan cara untuk memformulasikan pertanyaan berikutnya yang sudah ada di pangkal lidahnya. Dia tidak mau menyakiti perasaan kakaknya, dan pertanyaan yang ingin dia tuturkan bersangkut-paut begitu dekat dengan topik yang berat untuk mereka berdua.

Begitu menyadari kerisauan adiknya, Hara membantunya dengan menerka pertanyaan tak terucapnya. "Kamu ingin tahu kenapa kakak kembali menari lagi? Terutama setelah kejadian waktu SMA?"

Eli menggigit bibirnya, mengangguk pun dia tidak berani.

"Kakak kembali menari justru karena kakak ingat kejadian waktu SMA."

Mendengarnya, Eli mengangkat kepalanya untuk menatap kakaknya bingung. Hara memberinya sebuah senyum simpul. Gestur sederhana itu membuat Eli menyadari kedamaian yang Hara biaskan. Di matanya juga tidak tersisa kemarahan atau dendam atas apa yang rasa cinta terhadap tari sebabkan padanya.

Hara melanjutkan, "Memang sangat disayangkan sih bagaimana sistem kacau klab tari di SMA kakak dan ketidakmampuan Kakak untuk lebih tegas sempat merenggut kesukacitaan kakak dalam menari. Tapi kalau di pikir-pikir... mengutuki sesuatu yang di luar kemampuan kita, apalagi sesuatu yang terjadi di masa lalu, itu nggak ada gunanya. Yang bisa kita lakukan ya tinggal berkaca ke diri sendiri."

Ketika Hara mengatakan 'berkaca' dia menatap Eli seakan dia menyiratkan sesuatu.

"Dan kalau kakak melihat ke diri sendiri, yang ada ya kakak merasa kesal karena nggak melakukan apa-apa waktu dulu. Kakak nggak protes waktu tari yang kakak buat ditampilkan orang lain, kakak juga nggak berusaha lebih keras untuk mencoba hal baru seperti yang disarankan pelatih. Tapi sekarang kan sudah bukan lagi saat itu," ujar Hara, "sekarang ya sekarang, dan itu artinya kesempatan baru, jadi kakak coba lagi untuk kembali ke tari."

"Bagaimana bisa?" tanya Eli pelan hingga menyerupai bisikan.

Hara mendengarnya dengan baik, jadi dia mampu memberi Eli jawaban. "Karena kakak sudah terpaut pada tari, Eli. Ingat waktu dulu ketika kakak menang tari kontemporer junior? Di saat itu, kakak merasa menemukan arti, menemukan tujuan. Saat itu mungkin saat pertama kakak merasa benar-benar hidup."

Dan seperti kamu dilahirkan lagi... kamu akan merasa hidup.

Saat itu rasanya suara Arga bergema di kepalanya. Kakaknya telah melewati momen yang disebut Arga. Kakaknya pun telah menyatu dengan tari. Mungkin itulah yang memberinya ketabahan untuk kembali menghadapi sesuatu yang pernah menyakitinya.

Jika Hara saja sudah berdamai dengan buih kekecewaan dari masa-masa itu, Eli tidak punya alasan untuk terus ragu. Iya, kan?

"Kamu mungkin nggak suka kata-kata picisan seperti itu, tapi—"

"Nggak," Eli menyela tuturan Hara. "Nggak begitu... aku mengerti maksud kakak."

Hara awalnya kelihatan tergemap, namun begitu Eli menunjukkan senyum siput selagi dia menyesap tehnya lagi, Hara merasa lebih tenang. Eli akan baik-baik saja. Bahkan jika Eli tidak benar-benar memahami tuturannya, Eli sedang mencoba. Hara berdoa adiknya akan menemukan momen itu, dan dia berharap dia bisa ada di sana menyaksikannya.

Sambil menyesap tehnya dengan pelan, mata Eli mengerling ke sekitarya. Kamar kakaknya rapi, sama seperti di rumah. Kemudian matanya menangkap sebuah kilau dari arah lemari buku Hara. Kilau itu dihasilkan dari pantulan cahaya lampu ke sebuah beda, dan pemantul cahaya itu adalah sebuah trofi kecil. Trofi itu dirawat dengan baik sehingga tidak menjadi usang terlepas dari usianya yang sudah setengah abad. Tentu saja Eli tahu fakta ini. Karena trofi itu adalah miliknya yang ia berikan pada Hara.

Dadanya terasa penuh oleh emosi yang menjalar ke matanya, memberatkan kelopak matanya dengan air. Eli menolak untuk membiarkan mereka terjatuh. Dia takut air matanya tidak akan pernah berhenti nantinya.


***

Sometimes, you love someone so much you curse the things that hurt them.

ig: istorialina

MoondanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang