somethings

1.2K 305 163
                                    

Rumah sakit Vandermirk,
distrik 54 Beverly Hills

Wawancara sesi ke-144 tahanan penjara Hacciest

Perihal kecelakaan; jatuhnya pesawat kala proses mutasi dari penjara Hacciest ke Tendeancore pada:
Rabu, 13 Februari 2020 pukul 16.25
[Waktu kecelakaan] 13.06

Profil narapidana sebagai kelengkapan data wawancara

Pobbie Seaqwints
Texas, 16 Mei 1955
24 tahun

Tahanan level rendah penjara Hacciest

Profil pewawancara

Benjamin David O'Neil
43 Tahun
Jurnalis kepolisian distrik Beverly Hills
-

-
-

[Bold: Mr. Benjamin]
[Italic: Pobbie Seaqwints]

"Selamat siang, tuan Evander Nall Seaqwints-"

"Pobbie saja."

"Baiklah kalau begitu, tuan Pobbie. Sebelumnya, anda sekarang berada di rumah sakit Vandermirk distrik 54 Beverly Hills, dengan saya jurnalis kepolisian lapangan, Benjamin O'Neil."

"Tunggu ... Bagaimana bisa rumah sakit? Terakhir kali yang kuingat ...."

"Pelan-pelan tuan, biar saya jelaskan keberadaan anda disini sekarang. Pesawat Boeing Air 398 yang digunakan distrik penjara asal anda dan rencananya dipindahkan semua tahanan ke Tendeancore, mengalami kecelakaan mekanis dan jatuh ke selat Meksiko, 156 jiwa dari 320 yang berada di dalam pesawat tak berhasil diselamatkan. Sebanyak 73 wujud tahanan lain belum berhasil ditemukan, dan sisanya mendekam di kantor pusat polisi distrik utama Beverly Hills. Sementara yang sedang sekarat, cedera, ataupun mengalami traumatik hebat-ditampung di rumah sakit ini."

"Dan sekarang aku di sini ...."

"Iya, kondisi anda lumayan mengenaskan untuk ukuran korban lainnya. Anda ditemukan dalam keadaan badan sepenuhnya tertindih bangku pesawat dan tak sadarkan diri, hampir saja tuan Pobbie dimasukkan ke dalam kantung jenazah. Tetapi saat tim penyelamat memeriksa lagi, anda masih bernafas dan segera dibawa ke sini."

"Aku tidak tahu. Bahkan tidak ingat jika pesawat itu jatuh. Aku tidak merasakan apa-apa."

"Itu wajar, karena peristiwa yang baru tuan alami itu sangat luar biasa imbasnya untuk sekedar gangguan psikis hingga meregang nyawa. Keberaadaan saya di sini untuk mewawancarai anda perihal beberapa rincian jatuhnya pesawat. Apa anda bisa mendengar saya dengan jelas?"

"Iya, bisa. Tapi ... Aku di rumah sakit ini. Seberapa parah cedera yang kudapat?"

"Mungkin jika saya beri tahu, semua ini akan menginterupsi mental anda dan saya juga tidak punya wewenang untuk memberi tahukan hal tersebut. Biar dokter spesialis yang menangani anda saja yang akan menjelaskannya nanti."

"Baiklah, lanjutkan saja."

"Apa anda ingat sesuatu, sebelum sadar dalam kondisi begini?"

"Yang kuingat hanya ... aku dan para tahanan penjara Hacciest lain berangkat di pagi hari menggunakan pesawat menuju Beverly Hills. Keadaannya baik-baik saja. Aku sama sekali tak mengingat ada gangguan dalam pesawat itu, apalagi tahu jika pesawat yang kutumpangi jatuh."

"Lalu, apakah ada pihak keluarga anda yang bisa kami hubungi? Bukannya apa-apa, namun dalam keadaan begini, anda berhak mendapatkan perhatian keluarga terdekat."

"Tidak. Aku tidak punya keluarga. Sama sekali tidak punya."

"Baiklah. Wawancara hari ini sudah cukup. Untuk keterangan lebih lanjutnya, akan segera diberitahukan dalam waktu dekat. Terima kasih tuan Pobbie."

***

Dan di sinilah sekarang aku berada. Di dalam ruangan dingin dengan dinding didominasi warna putih tulang, peralatan kesehatan, dan bau obat-obatan yang menusuk indra penciuman. Dibalut baju hijau khas pasien rumah sakit, dan entah berapa banyak gulungan perban yang menempel pada kulit tubuhku. Belum lagi selang-selang menyebalkan di sekujur tubuh.

Sekiranya sudah lewat setengah jam sejak pria paruh baya itu mengintrogasi aku. Ahh iya ... Ia mengaku namanya Benjamin.

Terus terang aku tidak percaya jika pesawat yang seharusnya membawaku dan para tahanan lain penjara Hacciest dengan selamat, justru berakhir begini.

Aneh.
Aku tak bisa mengingat apa-pun saat pesawat itu jatuh.
Bahkan tidak terasa ada sakit sedikitpun yang melekat dalam raga yang sudah bagai mesin ringsek ini.
Ntah ini mati rasa atau hanya mimpi belaka.

Tapi memang seperti tidak nyata.

Aku berbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Dan di ruangan ini-pun aku tidak sendirian. Mungkin ada 4 atau 5 ranjang lain yang masing-masingnya dibatasi sekat tirai. Sedari tadi banyak dokter dan perawat yang keluar masuk ruangan untuk mengecek keadaan pasien lain di ruangan ini-atau hanya datang dan memanggil satu-persatu dari kami untuk di introgasi.

Ramai.
Hiruk pikuk jeritan penuh rasa sakit bersaut-sautan.
Semua pihak sibuk dengan urusannya sekarang.

Iya. Sepertinya, hanya aku yang kini diiisi kekosongan.
Tidak akan ada yang datang menjengukku kemari.
Dan tadi, batinku terketuk saat si Benjamin menyebut 'keluarga'.
Ada rasa sesak dan sesuatu yang tercekat.

Bahkan aku tidak pernah tahu, seperti apa wajah ayah-ibuku.
Mikaela berkhianat dan menjerumuskanku ke dalam dinginnya jeruji besi.
Hidup selama 22 tahun tanpa mengenal satupun saudara.
Dan kini Tuhan menyiksaku dalam keadaan seperti ini?

Sepertinya lebih baik jika tadi aku dimasukkan saja ke dalam kantung jenazah.

Lelah.
Aku menghela napas pelan.
Memejamkan mata dan membukanya.
Berulang-ulang, hanya untuk memastikan aku masih tersadar.
Menerawang lampu putih yang berpendar terang di langit-langit dinding.

Lalu segerombolan orang-orang berjas putih, sekitar 3 atau 5-memasuki ruangan-membuka tirai yang menjadi sekat ranjangku.
Dan aku ingat kalimat Benjamin. Mungkin mereka dokter yang menangani kondisiku sekarang ini.
Salah satu dari mereka berbicara padaku-si dokter wanita muda.

"Dengan Pobbie Seaqwints?" tanyanya dengan dahi mengernyit.

"Iya."

"Hasil diagnosa-mu sudah keluar."

"Bagaimana hasilnya?"

Dokter muda itu menghela napas berat, menatap ke arahku penuh iba. "Anda mengalami patah tulang rusuk yang amat parah, denyut jantung yang semakin melemah karena kehabisan banyak darah, gegar otak serius, dan yang paling kronis ... Anda terkena radiasi ledakan pesawat sehingga semua sistem organ akan melemah dari hari ke hari."

Aku hanya diam termangu mendengar semua derita yang seharusnya sangat sakit jika dirasa.
Namun apa daya, kini seperti mati rasa. Tak bergeming, dan melesat ke dalam pikiran sendiri bersama kecamuk yang menyiksa.

Dan kini dokter lain bersuara.

"Tak bisa kami pungkiri ... namun, sisa umurmu di dunia paling lama hanya 7 hari."

It's just begin

-Die in 7 Days-

A/n:
Vommentnya boleh dung, gw cinta bgt sm yg suka vomment kalian tuh yg bikin stories wattpad tetep hidup duh ❣😔

Die in Seven Days [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang