EPILOGUE

599 188 112
                                    

"So you wondering for explanations or not?" tanya Mikaela pelan-pelan setelah mereka sampai di bandara.

Tentu saja Pobbie mengacuhkannya. Pandangannya saja tidak jelas, sedari tadi hanya celingukan memerhatikan orang berlalu lalang sambil menyeret koper.

Keduanya kini sedang menunggu keberangkatan ke Havana, yang menurut board schedule akan tiba paling cepat 20 menit lagi. Mikaela tahu, bahwa ini mungkin akan sulit bagi Pobbie. Ia takut karena sejak turun dari taksi Pobbie terus diam tak bergeming. Ia memang tak tahu sebesar apa rasa trauma Pobbie, maka dari itu mindset- nya sangat tinggi berjaga-jaga kalau trauma Pobbie memang sehebat itu.

Mikaela menghela napas berat untuk kesekian kalinya. Ia tetap mencoba sabar dan juga takut kalau-kalau nanti Pobbie marah besar setelah mendengar penjelasannya.

Tiba-tiba Pobbie menoleh ke Mikaela. "Nanti aja," ujarnya singkat namun sukses membuat jantung Mikaela hampir lepas rasanya.

Kenapa Pobbie sama sekali tidak marah?

***

Mikaela jadi paranoid sendiri saat sudah masuk pesawat dan duduk di bangku bersama Pobbie tepat di sebelahnya. Seharusnya nyaman, tapi situasi ini ... sangat sulit.

Melihat Mikaela sedari tadi resah, Pobbie jadi menghela napas. "You can start now."

Terperanjat tentunya. Mikaela menelan berat salivanya untuk menjawab, "Hmm, ok ... but, Pobbie, kamu gapapa kan? You okay?"

Pobbie hanya memberikan balasan angguka singkat, tapi setidaknya membuat Mikaela sedikit lega.

Mikaela menarik napas panjang dan mulai berbicara, "Aku ngga tahu persis mimpi-mimpi apa yang kamu dapat semasa karantina, jadi kalau merasa annoying bilang aja, it's okay."

"All of that is fake, aku ngga pernah jeblosin kamu ke penjara. Kolega William hari itu datang, katanya kamu pinjam ratusan ribu dollar dan belum bisa kembaliin. Dia nawarin untuk ngga perlu sama sekali bayar, aku senang pastinya dan—,"

"Wait, itu ... kapan?"

"Tepat sebulan yang lalu."

Pobbie mulai merasakan keanehan. "Tidak mungkin baru sebulan yang lalu, rasanya sudah lebih dari satu semester hingga insiden pesawat jatuh. Selain mimpi, mereka juga memperlambat konversi waktu? Hebat," begitulah pikirnya.

"Perihal menguntit, kamu jeblosin aku ke penjara, catatan kriminalku, semuanya bohong?" tanya Pobbie masih tak percaya dengan tatapan kosong.

"They says something like that? I can't believe this," keluh Mikaela resah mengacak rambutnya. "Itu bukan kamu! Definitely not you! It's William ... tapi nggak pentinglah."

Pobbie menaikkan satu alisnya dengan tatapan tanda tanya mendengar nama William disebut, akan tetapi Mikaela melanjutkan penjelasannya.

"Katanya semua hutangmu lunas jika kamu ikut berangkat ke Ohio dan ikut semacam pelatihan karantina disana. Oh ya, William juga ikut. Aku tahu mereka bohong, tapi ya aku gabisa ngapa-ngapain tanpa uang. So I let you go with them, sorry."

Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan membentuk sungai kecil di pipi Mikaela, ia merasa sangat bersalah. "Aku research tentang perusahaan mereka. Yang ternyata buat produksi obat mental untuk para narapidana agar merasa jera tanpa harus mendapatkan siksaan fisik yang berarti. Iya, kamu jadi kelinci percobaan. Dalam sehari kamu dapat 3x suntik. Aku ngga terlalu ngerti, tapi katanya itu yang jadi penyebab mimpi-mimpi dan halusinasi."

Die in Seven Days [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang