Day 4

573 222 148
                                    

-Family Stories-

"Pobbie kemari! Foto kupu-kupu ini coba!"

Si Pobbie kecil pun berlari mengahampiri pria paruh baya yang berjongkok; ia tersenyum melihat serangga kecil di depannya sembari Pobbie yang sibuk menangkap gambar.

"Ini Pah, lihat!" ujar Pobbie menyodorkan kamera pinjaman ayahnya.

"Wah bagus. Kamu berbakat, simpan kameranya baik-baik," ayah Pobbie tersenyum sekilas dan membelai lembut kepala putranya. "untuk kamu."

"Yeyy! Pobbie punya kamera sekarang, terima kasih Pah!" serunya teramat girang lalu menghambur mendekap erat sang ayah.

"Hai sini masuk dulu! Makanannya sudah siap!" teriak seorang wanita melambai-lambai di ambang pintu memanggil kedua orang yang sedang asyik berpelukan.

Tak lama, keduanya beranjak masuk rumah masih dengan sematan senyum bahagia masing-masing. Si wanita berbalut serbet masak itu hanya bisa berkacak pinggang sambil ikut tersenyum senang melihat suami dan putranya tertawa girang bukan main.

Siang hari bersalju di Kuba waktu itu dihabiskan mereka untuk makan bersama. Dinginnya partikel es yang berguguran tak mampu menghilangkan tawa keluarga kecil itu. Mereka bagai klan paling bahagia yang menghabiskan waktu natal dengan saling bertukar kado di bawah pohon cemara kecil, pelengkap dekorasi hari raya. Hangat yang merembas bukan dari api unggun yang menyala-nyala kala itu, ada afeksi berlebih di dalamnya yang yakin tak satu orang pun dapat mengerti.

Sebuah tim kecil bahagia.

***

"AAAAH!"

Aku baru saja terbangun dari mimpi singkat yang seharusnya menyenangkan itu. Tapi entah kenapa mimpi itu justru melepaskan rasa pedih yang bertahun-tahun kuhabiskan untuk tak mengingatnya sama sekali.

Rasanya sakit. Kau tahu kan siksaan batin itu lebih perih daripada siksaan fisik. Sekalipun ragaku yang sekarang begini.

Aku tak boleh hidup dalam masa kelam itu lagi. Buat apa mengenang kiasan memori yang isinya orang penuh dusta. Sekalipun mereka kedua orang tuaku.

Tidak. Aku tak punya keluarga. Tiada lagi yang namanya ikatan. Selesai.

Durhaka? Toh bilang saja. Dosa yang lain mungkin masih bisa kuperbaiki. Tapi yang satu ini benar-benar buntu. Satu-satunya lentera ku untuk kembali percaya pada yang orang sebut 'keluarga' mungkin hanya dengan mukjizat tuhan.

Jikalaupun tuhan tidak memberikan mukjizatnya, aku tidak akan sudi bersusah-susah. Tidak akan pernah segan. Sedikitpun.

KRIEET

Suara keriut pintu kamar dibuka. Ah paling-paling si suster yang biasa memeriksa itu. Tapi tidak. Iya, aku mengenal yang datang kali ini.

"Hari ke-4 mu, apa kabar Tuan Pobbie?"

Itu Tuan Benjamin, yang awal aku datang kemari diintrogasi olehnya. Aku rindu dengannya, sedikit. Kuhargai pertanyaannya dengan suaraku yang terdengar parau dan serak ini. "Pobbie saja. Seperti yang kau tahu, tersisa 3 hari lagi sebelum aku pindah ke neraka."

Dia tertawa dan akupun tersenyum ringan. "Ada perlu apa datang kesini?" tanyaku sekedar basa-basi.

Tuan Benjamin menghela napas berat, seperti enggan menjawab. "Tim penyelidik memintaku untuk memastikan seluruh datamu, dan ya ... mereka tentu tak percaya bahwa kau sama sekali tak punya keluarga."

"Sudahlah cukup, aku lelah."
Aku sama sekali tak berminat dengan bahasan kali ini. Aku tahu arahnya akan kemana. Tapi tidak dengan si Benjamin ini, ia masih bersikeras menggali. Kasihan juga pekerjaannya terhambat karena keegoisanku.

"Tapi memang tidak benar kan, setidaknya pasti kau punya seseorang yang dapat dipercaya."

Ia nampak sama lelahnya denganku. Ku pandangi garis-garis keriput yang mulai menghiasi wajahya yang sudah tak muda lagi.

"bagiku keluarga tak harus selalu yang ada hubungan darah, keluarga adalah mereka yang selalu membuka rengkuhan tangannya lebar-lebar untuk tempatmu bersandar, pilar terbesarmu untuk percaya, siapapun itu."

Hatiku terketuk. Tidak, aku tidak merasa diceramahi sama sekali. Kupersilakan Benjamin melanjutkan kata-katanya.

"Ditinggalkan? Ditelantarkan? Jujur aku juga merasakannya. Tak perlu kuceritakan. Dan aku juga tak memintamu untuk menceritakan. Siapa juga yang peduli sehebat apa derita yang kita rasakan. Pada akhirnya sama saja. Kau selalu butuh rumah untuk pulang."

Apa masih pantas diriku mendapatkan tempat pulang?

"Aku bukan bermaksud sok tahu, tapi apabila memang keluargamu tak pantas mendapatkan maaf. Semuanya kembali bergantung padamu. Kau tahu ... setidaknya sebelum akhir hayatmu tiba."

Iya, mungkin dirinya mukjizat dari Tuhan; atau pembawa risalah, atau daulah ntah apalah, aku bodoh soal spiritual.

Kuangakat kembali pandangaku menghadapnya. "Kau keluargaku mulai sekarang. Lewat dirimu Tuan Benjamin ... kutitipkan segala doa. Salam memaafkanku yang tak sempat kuberikan pada mereka yang seharusnya. Terima kasih."

"Kau orang baik Pobbie. Semoga dirimu bahagia di penghujung sisa waktu yang ada, aku pamit." Ia tersenyum kembali. Lalu menyentuh kapas kecil dibalik lenganku bekas suntikan pagi ini.

Tak banyak yang perlu dilakukannya dan ia langsung kembali, berjalan keluar menuju pintu kamar, dan sebelum tangannya memutar kenop pintu, kupanggil namanya.

"Tuan Benjamin ... Berjanjilah datang ke pemakamanku."

Ia mengangguk.
Terbit seulas senyum sangat tulus di wajahnya.
Kuharap bukan ketulusan dusta, karena beberapa menit yang lalu aku baru memercayainya.

-Die In 7 Days-
"No ones on this earth could live without family. Don't need always family in real literal. But can't lie huh we'd like to see in ours there are affection of each other? There you go find your real means of family."

Regards, Reyn
Chap ini panjang bgt ya
pusink akutu lagi us :(

Oiya,
DI7D RANKED IN WRITTENINACTION
Much love for y'all omg thank u for the support I'm speechless T_T

Die in Seven Days [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang