jatuh cinta dipenjara suci

94 7 0
                                    

Azan magrib mulai berkumandang, terasa indah di telingaku seolah panggilan dari surga. Hingga memaksaku bangkit untuk hadir mengunjunginya, aku berjalan menuju masjid yang memang letaknya terlalu jauh. Di perjalanan aku melihat sesosok wanita memakai baju serba putih namun tidak menakutkan layaknya hantu kuntilanak, dengan balutan kerudung putih tampak terselip senyum manis di mulutnya, Kupandangi dia.

“Mungkinkah ini bidadari yang sengaja turun dari langit” gumam dalam hatiku
“Siapa dia? baru aku tahu hari ini”

Aku pun berjalan namun tak sedetikpun mengalihkan pandanganku terhadapnya, sampai suatu ketika …

“brug,…” aduh!!! Astagfirullahhalazim, batu ini” ucapku kesakitan

“Hahahaaha” terdengar riuh tawa orang-orang yang melihatku.
“ah, terserah!! dasar orang-orang aneh bukanya membantu malah tertawa.” gerutuku

Dalam sakitku aku mulai tersadar “di mana bidadari cantik yang tadi” gumamku.
Aku memandang di sekelilingku tampak seolah lenyap. Aku pun berusaha bangkit namun seolah terasa sakit hingga sahabat baikku datang.


“Kenapa kau, haha” tanya amir sambil tertawa padaku.
“Biasa cari batu.” jawabku
“Hah, buat apa? Haha” Tanyanya
“Ah udah lah, sudah tau aku jatuh masih saja kau bertanya, bantu aku berdiri.” mintaku padanya
“Haha sorry kawan, lagian kenapa kamu bisa jatuh seperti ini?” tanyanya padaku sambil mengulurkan tangannya.
“Barusan aku lihat bidadari, mir” jawabku.
“Ah, mengkhayal kamu, sudahlah mari kita segera berwudhu, iqamat sudah berkumandang.” ajaknya padaku.
“Iya Mir” jawabku

Sebelumnya perkenalkan namaku Sidiq Kayana, nama indah yang bersumber dari dua bahasa yang berbeda namun sama-sama memiliki makna yang sempurna. Sidiq adalah berasal dari bahasa arab yang berarti benar, sedangkan Kayana berasal dari bahasa jawa yang berarti dermawan, mungkin salah satu alasan orangtuaku memberi nama itu adalah mengharapkan agar aku memiliki sifat keduanya, maklum sifat itu sekarang seolah barang yang sangat langka untuk ditemukan. Karena rasa malas, ibu memaksaku masuk ke dalam penjara, tapi bukan penjara hina yang mana seorang terkurung karena perbuatan kriminalnya, tetapi penjara yang di dalamnya penuh kesucian, oleh karena itu aku menyebutnya penjara suci —pondok pesantren. Sudah hampir satu tahun aku dipenjarakan, perasaan senang bercampur duka pun aku rasakan, maklum kehidupan di rumah serasa tanpa aturan di sini segalanya ada aturannya, namun yang jelas semua itu mengajarkan kebaikkan. Sekarang seolah aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Dalam lamunku karena keterkesimaanku pada wanita tadi, seolah menghantarkanku dalam khayalan yang semu “andai aku suatu saat memiliki istri seperti dia, aku yakin dia tidak hanya cantik fisiknya tapi hatinya juga cantik” gumamkau dalam hati.

“Derrrr!!!” suara amir mengagetkanku.
“Astagfirullahalazim” ucapku spontan.
“Melamun saja kawan” ucapnya.
“Wah parah kau, hampir saja jantungku lepas” ujarku.
“Pasti soal bidadari yang kau ceritakan tadi kan?” tanyanya padaku.
“Hehe, iya mir” jawabku dengan malu.
“Aku jadi penasaran wanita seperti apa yang membuat kawankau ini jatuh cinta” ujarnya.
“Yee, ya sudah kau besok menjelang magrib berangkatlah bersamaku, semoga beruntung kita bisa bertemu bidadari” ajakku.
“Haha oke, oke” jawabnya.

Serasa malam ini aku pun sulit melupakan bayang-bayangnya, serasa kecantikanya, keangguannya, tak pernah lepas dari benakku hanya sebuah kata “andai” yang menyelimuti otakku “apakah benar aku mencintainya” dalam hatiku bertanya-tanya. Walaupun hanya beberapa detik aku tak pernah tau kenapa rasaku seperti ini mungkin ini yang dikatakan “cinta memang tak butuh alasan” hingga cinta hadir tanpa diundang dan pergi tanpa diantar.
“Ya Tuhan, aku melihatnya lagi” gumamkau dalam hati.
Kali ini ia menggunakan busana muslim warna putih lagi. Tampak alami kecantikanya ia tampak menatapku dengan senyum manisnya, aku pun seperti itu.

“Mungkinkah dia suka padaku, atau hanya keramahan hatinya yang membuat ia senyum kepadaku” gumam dalam hatiku.

Sekilas aku melihatnya pergi menuju masjid, bidadari yang ramah, aku pun tak bosan-bosan melihatnya, tentu dari kejauhan. Manusia yang ramah hingga ia menyapa setiap orang yang ditemui, sampai aku tak melihatnya lagi. Aku pun, apalah aku. Hanya bisa menatap langit dan sekilas aku berucap “Ya Allah, sang pemberi cinta, aku mencintainya, tuhan. Bolehkah aku mencintainya, bolehkah aku memilikinya, bolehkah aku menghalalinya” bantulah aku, dan takdirkanlah aku bersamanya”.

Seketika suara langit pun membalas ucapanku, “jika kau ingin memilikinya sebagai pendamping hidupmu maka pantaskanlah dirimu dan jangan pernah jadikan kecintaanmu kepadanya yang menyebabkan kelalaianmu. tapi jadikan kecintaanmu kepadanya yang membuat bertambahnya kecitaanmu terhadap Tuhanmu”. Aku dengan penuh ketakutan berlari karena baru kali ini aku mendengar suara lagit, aku berlari kencang sambil menggigil ketakutan seketika.
“Ya Allah, ini hanya mimpi tapi apa maksutnya pesan dari langit itu” gumamku dalam hati.

Suara adzan subuh pun berkumandang tanda solat subuh akan segera dilaksanakan. Lantunan yang merdu membuatku segera beranjak menuju masjid, kini aku membangunkan sahabatku, maklum aku memang sekamar bersamanya.

“Mir Mir bangun!!!” teriakku.
“Emmmz iya iya, sudah subuh ya?” tanyanya.
“Iya buruan” suruhku.
“Iya iya” jawabnya.

Aku dan amir berjalan menuju masjid, tampak di depan rumah pak kia ada sesosok wanita menutup pintu ketika berbalik arah.

“Mir, mir itu dia bidadari yang aku ceritakan” ucapku memberitahu.
“Mana?” tanyanya padaku.
“Itu”, sambil aku menunjuk ke arah wanita itu.
“Hah kau suka dengan anaknya pak kiai?” tanyanya padaku.
“Hah anaknya pak kiai, setahun aku mondok di sini tak pernah ku tau dia, dan tak pernah ku tahu pak kiai punya anak gadis” jawabku.
“Haha wajar saja kau tak tahu, kau kan baru satu tahun di sini tanya dong sama yang sudah empat tahun di sini hehe” jelasnya padaku.
“Hah, yakin kau” tanyaku seolah tak percaya.
“Ya sudah, kan sudah aku kasih tahu, dia itu anak pak kiai yang bungsu, dia disekolahkan di Kairo, Mesir sejak SMA dan dua tahun sekali Ia pulang, tapi tidak apa-apa kawan kalau kau suka, cukup pantaskan saja dirimu untuk bersanding denganya dan banyaklah berdoa” ujarnya.
“Tapi apakah mungkin?” tanyaku penuh keraguan.
“Mungkin saja kawan” jelasnya menyemangatiku.

Dengan terdiam seolah tak percaya mungkinkah ini pesan dari lagit, agar aku dapat memantaskan diriku untuk bersanding denganya. Secara aku yakin tidak hanya ia cantik, pasti tingkat kesalihannya sangat tinggi dan memang selama ini aku merasa belum benar-benar menjadi orang yang baik, apa lagi sangat baik. Tapi aku mulai sadar dan aku pun ingin berusaha memantaskan diriku untuk dapat bersanding denganya. Aku pun mulai melangkah kembali bersama sahabatku menuju ruangan masjid.

Pulang dari masjid, aku bercerita soal jawaban langit ke Amir.
“Mir, kamu tahu tidak?”.
“Tahu”.
“Tahu apa Mir?”.
“La kamu tanya apa diq?”.
“Kamu tahu jawaban langit untuk doaku?”.
“Gak, emangnya gimana?”.
“Kemaren aku berdoa dan langit menjawab doaku?”.
“Hahhh!!!, yang bener saja kamu”.
“Iya, jadi langit menyuruh aku untuk memperbaiki iman dan ketakwaanku ketika aku berdoa untuk dapat memiliki bidadari anak pak kiai itu”.
“Hahahahahahah”, amir tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
“Kenapa kamu ini mir?”.
“Hahaha, gak diq, maaf ini sebelumnya, itu aa..a.aa.aaaakuuuuu. Amir sambil lari menjauh dariku.”
“Amiiirrrrrr…” dengan nada marah aku mengejarnya.

Pesan moral: menginginkan jodoh yang terbaik dari Allah, maka bukan bagaimana kita berusaha mendapatkanya, tapi bagaimana memantaskan diri kita untuk bersanding dengannya.

kumpulan cerita islamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang