- Escape -

30 1 9
                                    

Sedang dalam mode banyak maunya tapi modal gapunya :")

Happy reading ^^

.

.

.

.

"2563" rapal Jeno sambil menarik gas motornya. Nomor plat mobil pria itu masih membekas diotaknya.

Jeno menjalankan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Membelah jalan raya Seoul yang mulai lenggang karena petang mulai datang. Masa bodoh dengan waktu. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Seo Jina.

Dan entah kenapa, instingnya mengatakan ini bukan hal yang bagus.

~~~~

Suasana canggung memenuhi mobil itu. Diantara kedua orang berbeda milenium itu tidak ada yang ingin mengeluarkan suaranya barang sedikitpun. Hanya terdengar suara lembut deru mobil dan musik klasik yang terputar dengan volume kecil melalui tip.

Sejujurnya, Jina tidak menyukai suasana ini. Tapi apa boleh buat, dirinya sendiri juga malas untuk memulai pembicaraan dengan orang disampingnya. Meskipun pria itu pernah menjadi cahaya hidupnya, tapi saat ini keadaannya sudah berbeda. Dia bukanlah siapa-siapa bagi Jina. Dan Jina bukan siapa-siapa baginya.

"Bagaimana kabarmu, nak?" tanya si pria paruh baya yang akhirnya memecah keheningan di dalam mobil tersebut.

Jina menghela nafasnya pelan. Tidak menyangka bahwa pria yang merupakan ayah kandungnya sendiri memulai percakapan terlebih dahulu. Bahkan sekarang menanyakan keadaannya. Jina paham ayahnya ingin memberi perhatian untuknya. Tapi gadis itu sudah hapal diluar kepala. Hanya saat inilah ayahnya bersikap baik padanya, entahlah jika sudah berada dirumah nanti. Keluarganya merupakan orang yang picik.

"Baik, Ayah." jawab Jina tanpa menoleh sedikit pun.

Sang ayah mendengus kecil. Memang sesulit ini menghadapi putrinya sendiri yang cukup keras kepala. Dan baginya, sekarang gadis itu semakin menjengkelkan dari sebelumnya.

"Ternyata kau tetap sama saja ya, Na Heejin." ayahnya terkekeh diakhir kalimat. Jina mengerti ayahnya mengatakan ini hanya untuk 'mencolek'nya. Tapi Jina tetap saja tidak akan terpengaruh. Ia bersikap acuh tak acuh pada sindiran kecil semacam itu. Dirinya sudah kebal.

Jina memaksakan senyumnya lalu membalas, "Iya."

25 menit kemudian, mereka sampai disebuah rumah lumayan besar bertingkat dengan dinding bercat putih dan coklat, memberi kesan klasik namun elegan dari rumah itu.

Jina turun lebih dulu sebelum ayahnya turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya. Jina tidak semanja itu. Melihat putrinya, sosok ayah itu tersenyum.

"Syukurlah, Setidaknya kau masih mandiri." kata Sang Ayah kemudian berjalan mendahuluinya, membuat Jina menaikkan alis.

Jika saja bukan karena kemandiriannya, mungkin saat ini Jina masih hidup dibawah kekangan mereka. Memang terlihat sederhana, tapi Jina sendiri merasakan betapa kerasnya keluarganya sejak ibunya sudah tiada.

Jina menggelengkan kepalanya cepat.
"Astaga.. Apa yang sudah ku pikirkan? Kau tidak boleh seperti itu Jina. Mereka tetap keluargamu." gumam Jina meskipun ia tahu kenyataan bagaimana sikap mereka kepadanya selama ini.

Jina tak menghiraukan apapun lagi dan langsung menyusul ayahnya masuk ke dalam rumahnya. Didalam, Jina tidak melihat siapapun kecuali desain interior rumah ini yang terkesan classy. Jina mengalihkan pandangannya menjelajahi isi rumah itu. Rumah ini tetap sama seperti terakhir kali ia tempati. Mewah memang. Namun dingin, suram, dan hambar. Gadis itu jadi merindukan keadaan rumahnya tepat saat ibunya masih ada. Ia beralih pandang melihat ke arah ruang keluarga, perbatasan antara ruang keluarga dan ruang tengah adalah tempat biasanya ia dan Jaemin bermain.

Angel || Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang