5. Pacarnya

2.7K 474 70
                                    

Seokjinie tiba-tiba saja memamerkan foto pacarnya padaku.

Wajah gadis itu tampak begitu bahagia bersanding dengan Seokjinie. Tetapi aku tidak bisa terlalu memperhatikan bagaimana wajah gadis itu.

Fokusku hanyalah kepada Seokjinie.
Matanya yang indah itu, tersenyum menatap orang lain.

Dan aku merasa ... tidak suka.

Aku memaksakan senyuman, mengelus puncak kepala berambut halusnya sembari menahan rasa aneh yang sedikit demi sedikit menggelegak, membuat hatiku tidak nyaman.

Aku berusaha terlihat santai.
Kunasehati dengan kata-kata ringan, "Jangan terlalu serius, pacar pertama hanya akan jadi pengalaman pahit. Bersiaplah."

Well, itu tidak sepenuhnya bohong, bukan?
Berapa banyak persentase pasangan di dunia ini yang berakhir menikahi pacar pertama mereka?
Mungkin tidak mencapai 0.001 persen.

Bayangan saat dirinya bercengkrama hangat dengan pacarnya, berpegangan tangan, berpelukan, saling mencurahkan kasih sungguh membuatku tidak nyaman.

Belum lagi raut wajah Seokjin yang belakangan baru kusadari jadi semakin tampan dan memikat, seolah tidak terima ketika kunasehati, semakin aku tidak menyukainya.

Tidak menyukai kenyataan bahwa putra angkatku sudah memasuki masa itu.

Dengan sombongnya, Seokjinie berkata, "Sok tahu, lihat saja Daddy!"

Tetapi segera kutepis rasa tak suka itu, aku tertawa, memeluk dan mengangkat tubuhnya, memutar-mutarnya sebentar.

Ia protes padaku, "Pusing! Hentikan Daddy!"

Aku pun menurunkannya.
Kucium keningnya.

Ku genggam kedua tangannya erat-erat, menatap mata indah jernih yang selalu berhasil menghipnotisku, berucap tulus, "Daddy hanya ingin kau bahagia, Seokjinie. Aku tidak ingin kau menangis."

Oh, ia terlihat malu-malu, dan tak lama, ia segera menghambur ke dalam pelukanku.

"Seokjinie sayang Daddy. Sayang sekali. Terima kasih, Daddy."

Aku membeku.
Jantungku seolah sedang mempermainkanku.
Meningkatkan tempo pompaan darahnya.

Lalu kulingkarkan lenganku di pinggangnya yang anehnya terasa begitu pas bagiku.

Kuelus punggungnya, berusaha menyalurkan kasih sayangku padanya dengan gestur itu.

Lama aku berpikir, dan bibirku pun terbuka, "Aku men—menyayangimu, Seokjinie, anakku."

***

Benar, aku menyayanginya.
Hanya menyayangi Seokjinie.

Ialah satu-satunya orang yang benar-benar kuanggap seperti keluargaku.

Tadinya kukira demikian.

Tetapi nyatanya, sejak saat itu, perasaan yang kumiliki untuk Seokjinie—lebih dari rasa sayang 'biasa' dari seorang ayah kepada putranya.

Joon's Journal [ Namjin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang