7. Harapanku

2.6K 487 135
                                    

Sejak itu, aku mencurahkan segala kasih sayangku untuk Seokjinie.

Kembali seperti dulu ketika kami hanya berdua.

Aku selalu meluangkan waktu, meski sekadar menanyai bagaimana awal perkuliahannya, apakah ia akur dengan teman-teman barunya.

Dan tanpa sadar, aku benar-benar seperti dulu, kerap kali merangkulnya, memeluknya, mencium keningnya.

Mungkin bila dilihat oleh orang luar, tingkah laku kami tidaklah biasa, tetapi hal-hal ini sudah menjadi sesuatu yang natural bagiku.

Seokjinie tampak antusias membahas segala macam obrolan itu denganku.

Dan aku setia memandangi wajah hebohnya ketika bercerita.

Bagaimana alisnya akan sedikit naik saat membicarakan orang yang tak disukainya, bagaimana ia akan mengerucutkan bibirnya saat mencibir salah satu kakak tingkatnya, atau bagaimana caranya berdecak remeh.

Senyumku tak berhenti terukir saat aku menghabiskan waktu bersamanya.

Kenyamanan ini sungguh tidak bisa digantikan oleh apapun.

Hari ini, lagi-lagi ia memilih film horor, padahal aku tahu ia mudah sekali terkejut.

Meski begitu, aku tetap menurutinya.

Benar saja, 'kan?

Sekarang ia sudah sibuk memeluk lenganku, padahal hantunya belum muncul lebih dari lima detik.

Kulepaskan pegangan tangannya, dan bisa kulihat dari ekor mataku kalau ia langsung cemberut.

Aku mati-matian menahan tawaku, berusaha memasang tampang serius.

Kulebarkan tanganku, dan ia pun tanpa basa basi, menghambur ke dalam pelukanku.

Hatiku bersorak, namun aku menggeleng, berlagak pasrah, "Dasar Seokjinie penakut," ledekku sembari menjawil ujung hidungnya yang semakin mancung.

Ia bertingkah seperti seekor kucing yang hendak melarikan diri, tetapi malah berujung menyusup masuk ke dalam dekapanku lagi.

Aku mendengar suara manjanya mengalun.

"Aku benci hantu, Daddy."

Dan kurasakan tangannya memelukku erat.

Hatiku menghangat.

Aku pun menggodanya, "Tidak benci Daddy, 'kan?" gurauku sembari menciumi puncak kepalanya yang menguarkan aroma mint tipis.
Segar.

Tiba-tiba saja ia mendongak dan membuat wajah kami sangat dekat.
Napasku tercekat seketika.
Kedipan matanya membuatku tak mampu bereaksi.

Lalu kudengar lagi suaranya, kali ini tegas, "Aku me—" jeda, aku menahan napasku menunggunya melanjutkan, "—menyayangimu, Daddy. Mana mungkin aku membencimu."

Jantungku berdebar kencang.
Bukan debaran biasa, tetapi aku tahu apa arti debaran ini.

Aku pun hanya bisa mencoba tetap menjadi seorang 'ayah' dengan berkomentar, "Semoga kau terus merasa demikian, Seokjinie."

***

Aku sungguh berharap ia akan terus menyayangiku.

Tetapi nyatanya, aku mengharapkan sesuatu yang lebih dari putra angkatku.

Putra kesayanganku.
Seokjinie yang menyinari kegelapan hidupku.

Aku—menginginkannya.
Sebagai pasanganku.

Joon's Journal [ Namjin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang