12. Penerimaan

3.2K 487 164
                                    

"Seokjinie."
Aku memanggilnya segera setelah masuk ke dalam kamar hotel kami.

"Daddy," ia menyambutku gembira.
Saking gembiranya, ia sampai tersandung.

Dengan cekatan kutangkap dirinya dengan tanganku yang melingkari pinggang serta punggungnya.
Jarak wajah kami yang terlampau dekat membuat otot lenganku jadi tegang.

Aku tidak tahu berapa lamanya waktu berlalu saat kami bertatapan intens.
Mata Seokjin selalu berhasil menghipnotisku, terlebih saat ini.

Tatapannya.
bibirnya yang agak terbuka.
Menyembulkan sedikit gigi depannya yang putih.

Aku ingin—menciumnya.

Saat kurasa aku tak lagi mampu menahan diri, kesadaran memaku kepalaku dan cepat-cepat aku membantunya berdiri dengan benar.

Aku memarahinya, "Jangan membuatku kaget lagi, Seokjinie. Kau tidak tahu betapa cemasnya aku saat mengetahui kau kecelakaan. Jangan sembarangan menggerakkan kakimu dulu. Ingat pesan dokter, mengerti?"

Ia tampak sedih dan mengangguk patuh.
Tetapi tak lama ia langsung memelukku.
Erat sampai napasku terasa sesak.

Aku tersentak kaget sampai tidak bisa membalas pelukannya.

Dan pengakuannya membuatku kian membatu.

"Daddy, aku mencintaimu. Tetapi, jika perasaanku padamu—menyusahkanmu," jeda, kulihat ia mengigiti bibirnya, meneguk ludah dan mendongak dengan mata yang agak tergenang oleh air, "Aku akan berusaha sekuat tenaga memenuhi harapanmu. Aku akan menikah, punya anak, memberi cucu untukmu dan akan menjadi anak berbakti. Tetapi kumohon, biarkan aku tetap seperti ini Daddy. Biarkan aku terus menunjukkan perhatian dan kasih sayang ini padamu. Jangan mendiamkanku lagi. Aku tidak sanggup."

Aku kehabisan kata-kata.

Bagaimana ini?

Haruskah aku menyambutnya?

Atau haruskah aku membiarkannya agar hubungan kami kembali seperti dulu.

Sebatas ayah dan anak?

Sanggupkah aku melakukannya?

Batin dan rasionalitasku berperang sengit sampai aku lupa merespon Seokjinie.

Saat kurasakan ia mulai melepaskan tangannya dan berusaha menjauh dariku, detik itu juga aku mengambil keputusan yang selama ini selalu membuatku bimbang, tak berani kupilih.

Aku menciumnya.

Kusapukan bibirku perlahan ke atas bibir penuhnya yang selalu menjadi bahan pikiran kotorku selama ini.

Aku membelai sudut-sudut bibirnya, bagian atas dan bawahnya, berusaha meminta izin masuk lebih dalam dengan lidahku.

Aku ingin mencicipinya, bagaimana sebenarnya rasa Seokjinie.

Demi apapun, aku menginginkannya.

Seokjinie sempat kaku, tetapi lambat laun ia membuka mulutnya, menghadiahkanku jalan masuk ke dalam rongga mulutnya yang terasa hangat dan menggoda.

Aku menciuminya seolah tiada hari esok tersisa.

Kudekatkan tubuh kami hingga tak ada jarak yang memisah.
Ciumanku lama-kelamaan jadi lebih dalam dan menuntut.

Saat Seokjinie membalas ciumanku tak kalah bersemangatnya, hatiku pun melonjak girang bukan main.

Aku membuka sedikit mataku dan melihatnya kewalahan.
Buru-buru kulepaskan pagutan kami.
Aku ingin tertawa melihat raut wajahnya yang agak kecewa itu.

Lalu aku pun berkata serius, "Aku tidak akan bisa lagi merestuimu untuk menikahi orang lain, Seokjinie."

Mata bulat indahnya yang terpantulkan refleksi diriku itu mengejap beberapa kali.
Bulu matanya tampak bergetar lembut.

Suaranya terdengar ragu ketika balik bertanya padaku, "Jadi, maksud Daddy...?"

Aku segera menambahkan.
"Tetaplah di sisiku. Seperti sekarang."

Kutarik telapak tangannya dan menciumnya lama, tak lupa menatap mata indah yang menyihirku itu lekat.

Kulontarkan pertanyaan yang tak pernah kutanyakan pada siapapun di dunia ini selain kepadanya.

Hanya kepada Seokjinie.

"Maukah menjadi pendamping Daddy tua-mu ini? Selamanya, sampai maut memisahkan kita, Seokjinie?"

Seokjinie terkekeh dan aku pun ikut tersenyum.

Ia mengangguk, mengusap matanya.
Ia meraih tanganku dan membawanya ke hadapan bibirnya, mengecupnya ringan, meniru apa yang kulakukan sebelumnya.

Hal itu mengirimkan sensasi aneh yang menggetarkan kala ia memandangiku sayang.

Jawabannya melambungkanku hingga ke langit tertinggi.

"Aku mau Daddy. Sampai kapanpun, sampai maut memisahkan kita."

***

Hidupku tidak indah.
Cenderung buruk dan penuh pengkhianatan oleh wanita.

Tetapi Seokjinie adalah satu-satunya orang yang kupercaya tidak akan mengkhianatiku, apapun yang terjadi.

Meskipun pada akhirnya aku mengetahui ialah orang yang memisahkanku dengan Yoo Ri.
Ataupun ia juga yang menghalau wanita yang berusaha mendekatiku.

Meski aku mendengar dari saksi pejalan kaki yang menarik Seokjinie, kalau sepertinya ia sengaja membiarkan dirinya diserempet mobil setelah memandang nanar ke arahku dan si client wanita.

Meskipun nantinya dunia akan mencemooh dan siap menguliti kami hingga ke tulang atas cinta kami.

Aku tidak peduli.

Yang kuinginkan hanya dirinya.

Seokjinie, bersamaku.
Sampai akhir hayat menjemputku.

Tak peduli apakah ia polos, atau manusia terlicik nan egois di dunia ini.

Karena aku—mencintainya, mungkin sejak aku memandangi mata bulat jernihnya itu.

Ya, sejak awal, ia sudah merebut hatiku bahkan tanpa kusadari.

Joon's Journal [ Namjin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang