Prolog

188 27 21
                                    

Nama gue Vika Ameeralda Rifana. Anak kedua dari pasangan Rifana dan Kirena, keluarga yang memiliki perusahaan bernama Rifana Group yang sudah bercabang ke berbagai negara. Gue termasuk kedalam orang yang sangat aktif. Memiliki tinggi badan 150 cm dan kalian bisa nilai gimana tingginya gue, bukan?. Berat badan 45 kg. So, kalian bisa bayangin wujud asli seorang Vika seperti apa. Umur 16 tahun dan gue kelas sebelas. Kalian tahu? Gue suka makan pete dan suka nonton drama-drama Korea atau China. Benci dengan kegelapan dan benci tempat sempit.

Gue tinggal di London sepuluh tahun yang lalu. Gue tidak tahu alasan pindah, karena dulu masih terlalu kecil untuk mengerti alasannya. Yang gue ingat dulu Bryan masuk ke kamar dengan air mata yang siap tumpah kemudian memeluk gue sambil berbisik dengan suara serak "Vika jangan nangis, Bryan akan buat Vika lupa sama dia. Karena dia... Sudah pergi." Gue tidak tahu maksud dari ucapan Bryan, yang jelas setelah Bryan mengatakan itu, kita pindah ke London.

"Vika hurry down! Gue gak mau ketinggalan pesawat cuma karena nungguin lo doang," and, yap! Itu suara Bryan Alvino Rifana. Kakak terlaknat,terngeselin dan ter ter lainnya. Gue benci setiap Bryan ganggu pas lagi nonton drama, tapi gue sayang sama dia. Bagaimanapun dia Kakak satu-satunya yang gue punya.

"Wait a little more, Bryan." teriak Vika dari dalam kamar.

Setelah selesai berkemas, Vika langsung bergegas keluar dari kamar dengan dua koper besar di tangan kanan dan kiri. Di bawah sudah ada Mama, Papa, dan Bryan yang sedang menunggu Vika. Vika termenung. Bagaimana cara dia turun dari tangga membawa dua koper besar yang sangat berat dengan tubuh mungilnya?

"Butuh bantuan, sayang?" Kirena bertanya khawatir. Rifana mengerutkan keningnya melihat putrinya hanya diam diatas tangga. Sedangkan Bryan? Dia hanya menatap Vika sambil berkacak pinggang.

Vika mengedarkan pandangannya menatap satu persatu manusia yang ada dibawah, dan tatapannya jatuh kepada Bryan. "Bryan... Help me!" bukan Bryan namanya jika dia tidak membuat adiknya kesal.

"Mom, look it!" Vika merengek sambil menunjuk Bryan yang sedang menjulurkan lidah mengejeknya.

"Bryan..."

Bryan menghembuskan napasnya pasrah. Kalau sudah ditegur orang tuanya dia tidak bisa berbuat apa-apa. "Dasar tukang ngadu!" gumamnya sambil berjalan menaiki tangga. Setelah sampai diatas, Bryan disambut oleh senyum kemenangan dari Vika.

Bryan mengambil alih koper yang dibawa oleh Vika. "Makanya kalo bawa koper harus liat badan! Koper sama orangnya lebih besar kopernya. Dasar cebol," Vika hanya mengerucutkan bibirnya kemudian menjulurkan lidahnya. Bryan yang gemas dengan tinggkah adiknya hanya bisa mencubit pipi gempalnya. "Udah ini aja?"

Vika sempat berfikir sejenak. "Oh, wait," Vika kembali masuk ke kamarnya tidak lama lalu keluar dengan membawa sebuah bingkai foto. "Hampir saja lupa." Vika memperlihatkan sebuah foto yang telah usang berbalut bingkai cantik. Foto itu adalah foto semasa kecilnya dimana dia sedang dipeluk oleh dua bocah lelaki di kanan dan kirinya dengan tawa yang begitu lepas memperlihatkan deretan giginya yang ompong.

"Udah, yuk." Vika turun begitu saja meninggalkan Bryan yang sedang kesulitan membawa koper-kopernya.

Vika sangat senang mengetahui bahwa dirinya dan keluarganya akan tinggal di Indonesia kembali. Dalam perjalanan menuju bandara, Bryan tidak henti-hentinya membuat Vika kesal walaupun berujung mendapat sebuah jeweran dari Sang Mama karena Vika selalu mengadu jika dirinya kalah. Vika mengambil bingkai foto lalu bersender pada bahu Bryan

Vika mengusap-usap foto anak kecil yang ada di sebelah kirinya. "Bry... Dia masih ingat sama gue gak ya?" Bryan tidak memberi respon apapun. Bryan hanya mengelus pelan rambut Vika kemudian mencium puncak kepalanya. Vika memeluk bingkai itu dengan mata terpejam.

Aku kembali... Aku harap kamu masih ingat denganku. Bolehkah aku egois? Aku tidak ingin kamu melupakanku. Aku hanya ingin melepas rindu yang selama ini tertumpuk didalam hati.

Bulan, aku rindu sama dia. Sekian lama akhirnya rinduku akan segera terobati. Ku tatap langit malam lalu aku membayangkan namamu terukir dengan kerlap-kerlip bintang yang membuatnya semakin indah.

Aku tersenyum, kala membayangkan betapa bahagianya nanti saat kita dipertemukan kembali.

Aku takut, jika nanti kamu tidak mengenalku . Dan itu merupakan mimpi terburukku.

°°°

TBC
Jangan lupa vote dan komen.

-Metta Brylea

SHINERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang