2. Kekecewaan

89 15 3
                                    

Ketika rindu yang telah lama terpendam, kini harus dibayar dengan rasa kekecewaan yang teramat dalam. Percayalah rasanya sangatlah menyesakkan.

-Vika Ameeralda.

°°°

Ketika kaki ini tak mampu berjalan melewati sosok yang selalu membuat hati terus berdebar, yang bisa Vika lakukan hanyalah menjauh dari sosok itu. Untuk saat ini biarlah kaki yang melangkah, entah ke mana yang akan dituju. Dia kalah dengan rasa kekecewaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.

Bagaimana tidak? Teman kecil yang selalu Vika rindukan, yang namanya selalu ia bayangkan terukir oleh rasi bintang di langit, justru tidak mengingat Vika. Rangkaian-rangkaian yang Vika bayangkan saat bertemu dengannya hanyalah sebuah penawar saja.

Langkah Vika terhenti saat sampai di halaman belakang sekolah. Rumput hijau yang menyejukkan mata dan terdapat pohon beringin tua di tengah-tengahnya. Tempat yang ditakuti oleh siswa entah karena alasan apa. Mungkin karena jalan satu-satunya dengan melewati lorong gudang dan lab yang sudah tidak terpakai, makanya tidak ada yang berani ke tempat ini. Vika mengedarkan pandangannya kemudian menghela napas. "Akhirnya gue nemu tempat yang damai di sini." Vika bermonolog. "Tapi kok halaman belakang sekolah sebagus ini sepi, sih."

Vika melanjutkan langkahnya mendekati pohon beringin. Baru saja melangkah, ia melihat di bawah pohon beringin ada seseorang yang sedang tertidur dengan tangan yang dijadikannya bantal dan sepasang earphone di telinganya. Vika bersembunyi di belakang tembok dan mengamati cowok itu. Tampan sekali...

"Siapa?"

Vika terkejut saat menyadari cowok yang sedang ia amati mengetahui keberadaannya. Dengan cepat Vika berbalik, namun kakinya menginjak batu yang ada di sampingnya dan terjatuh.

"Aduh..."

Sial! Kenapa harus nginjek batu, batinnya. Vika mencoba berdiri namun terkejut untuk yang kedua kalinya. Cowok yang sejak tadi ia amati kini berada di sampingnya menampilkan raut yang susah untuk diartikan.

"Butuh bantuan?"

"G-gak usah!" Vika mencoba melangkah namun kakinya terasa sakit.

"Kaki lo terkilir,"

"Engg- Aw... " belum sempat menyelesaikan kalimatnya, cowok itu sengaja menyenggol kaki Vika.

"Makanya kalo dibilangin tuh dengerin!" Cowok itu menuntun Vika dan duduk di bawah pohon beringin.

Cowok itu membuka sepatu Vika dan meletakkan kaki Vika di pahanya kemudian memijatnya dengan pelan. Vika meringis menggigit bibir bawahnya jika merasakan kesakitan. Tanpa Vika sadari, cowok itu memperhatikannya.

"Kalo sakit teriak aja. Gak usah bangunin nafsu yang terpendam, bisa?"

"Hah?"

Bukannya menanggapi Vika, cowok itu mengalihkan topik pembicaraannya. "Kenan Arioka," Ken menjulurkan tangannya mengajak Vika berkenalan sedangkan Vika masih loading.

"V-vika Ameeralda." Vika tersenyum canggung.

"Woi, Ken!"

Dari kejauhan, Vika dapat melihat tiga siswa yang mendekat ke arahnya dan Vika tahu satu di antara mereka. Dengan cepat Vika memakai kembali sepatunya. "G-gue duluan, ya. Dah..." Vika berlari kecil dengan terpincang-pincang.

"Bukannya itu cewek aneh yang tadi pagi nangis di depan lo, ya, bos?" Billy mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuknya.

"Hmm... Gue duluan, deh."

SHINERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang