1. Esaneric Mailo

130 19 18
                                    

Tiga hal dalam hidup yang tidak akan kembali, yaitu waktu, kenangan dan kesempatan.

°°°

Pagi ini keluarga Rifana sedang menikmati sarapan bersama. Vika sudah rapi dengan seragam SMA-nya. Dia tidak sabar untuk masuk ke sekolahnya yang baru. Dia juga tidak sabar untuk mencari... seseorang? Ya, seseorang yang sudah lama ia rindukan.

Hari ini Vika merasa sangat bahagia.
Tapi, kenapa rasanya masih ada yang kurang? Vika menghembuskan napas kemudian menatap sekelilingnya. "Mom, Bryan ke mana?" Pantas saja pagi ini rasanya sangat sepi. Rupanya sosok Bryan belum menampakkan batang hidungnya.

"Di kamar, masih tidur." Vika beranjak dari tempatnya duduk. "Loh, mau ke mana?" tanya Kirena.

"Mau bangunin monster, Mom." teriak Vika.

Sesampainya di kamar Bryan, Vika berkacak pinggang kemudian menghela napas melihat posisi tidur Bryan yang sangat menjijikan baginya. Tidur terlentang, guling di lantai, sprei acak-acakan, mulut terbuka, dan yang lebih menjijikan adalah air liur yang mengalir di sudut bibirnya. Tunggu, suara apa ini? Astaga, dia mendengkur. Monster satu ini benar-benar monster yang paling menjijikan yang pernah ia lihat.

Vika mengambil guling yang ada di lantai kemudian mendekati Bryan. "Bryan, bangun woy!  Anterin gue ke sekolah. Bangun gak! Bangun... ih! " Vika memukul-mukul Bryan menggunakan guling. Vika ngos-ngosan. Ternyata membangunkan monster tidur lebih susah dari yang ia bayangkan. Apalagi monster yang modelnya kaya gini.

Usahanya gagal. Tidak ada tanda-tanda Bryan akan bangun. Dia hanya merubah posisi tidurnya menjadi miring. Vika harus cari cara lain. Vika merangkak naik ke tempat tidur mendekatkan mulutnya dengan telinga Bryan, menarik napas kemudian berteriak, "BRYAN BANGUN ADA MALING!" Bryan terlonjak kaget dan langsung berdiri dengan menenteng gulingnya yang siap ia gunakan sebagai senjata untuk memukul maling itu. Vika tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Bryan.

"Dedek, mana malingnya? Lo gak pa-pa, kan?" Bryan mengecek seluruh tubuh Vika. "Mana, mana yang sakit? Pipinya gak kempes, kan?" Bryan menekan pipi Vika. Sedangkan Vika sedari tadi menahan napasnya.

"B-bau..."

"Hah?"

"Bau... BAU, BRYAN! LO, BAU. Lihat tuh, iler lo udah kemana-mana. Ih, mana udah pada kering lagi. Jijik gue,"

Bryan membelalakkan matanya tidak percaya. Bisa-bisa kadar ketampanan seorang Bryan Alvino Rifana berkurang hanya karena iler yang sudah mengering ini. Bryan berlari masuk ke kamar mandi meninggalkan Vika yang sedang menahan tawanya.

°°°

SMA Galesha, sekolah elit milik keluarga Prayoga. Disitulah Vika melanjutkan sekolahnya dan Ayahnya adalah salah satu donatur terbesar di sekolah tersebut.

Vika menyusuri koridor sekolah dengan senyuman yang terus mengembang mencari-cari letak ruang kepala sekolah berada. Koridor sudah tampak sepi karena sudah dua puluh menit yang lalu jam pertama sudah dimulai. Hanya ada beberapa siswa yang masih terlihat seperti siswa nakal yang membolos pelajaran dan siswa yang terlambat.

Sudah cukup lama Vika hanya menyusuri koridor sekolah seluas ini dan ruang kepala sekolah masih belum ia temukan. Vika melihat ada tiga siswa dengan baju yang tidak dimasukan tengah berjalan dengan santainya menenteng satu buku yang hanya digulung. Mungkin mereka termasuk siswa nakal. Vika ingin bertanya dimana ruang kepsek berada, namun saat siswa itu sudah dekat dengannya mendadak Vika terdiam seperti patung dengan debaran jantung yang tidak biasa.

SHINERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang