🗒> Lembar 1

135 34 17
                                    


Mulmed as Adriano Fathur Geia.

(\__/)
(^-^)
/ >< \
_____________


Tidak pernah ada yang tahu perasaan hatinya. Gelap, hampa, dan kosong. Namun semuanya bisa dengan mulus ditutupi oleh wajah datarnya, seakan-akan tidak ada goresan apapun di sana. Seperti tabula rasa.

Keramaian yang tadi sempat tercipta perlahan menjadi sunyi karna gelapnya sang nabastala yang tak sabar ingin segera menumpahkan keluh kesah beserta tangisnya untuk jatuh ke bumi. Lagipula, bumi semakin lama juga semakin rapuh.

Sudah banyak sekali orang yang berlomba-lomba membuat gedung pencakar langit, ataupun tempat-tempat seperti hutan yang digusur untuk kepentingan mereka pribadi. Tanpa sedikitpun rasa iba pada anak cucu mereka di masa depan nanti yang patut dipertanyakan bagaimana nasib mereka selanjutnya jika bumi sudah rusak.

Gadis berpakaian baju SMA yang berdiri di pinggir jalanan hendak menunggu kapan jalanan sepi agar ia bisa menyeberang. Setelah beberapa menit ketika dirasa sudah sepi, gadis itu buru-buru menyeberang. Senyumnya sedikit mengembang dengan singkat, ingin cepat-cepat pulang.

Selembar kertas berupa tulisan penghargaan sedaritadi ia genggam di tangan kanannya, cukup erat. Hatinya yang sempat berantakan cukup terhibur ketika pulang sekolah membawa sertifikat penghargaan yang tercantum namanya, Nayna Putri Artamevia.

Tentu ia merasa cukup bangga dan ingin segera memberitahukan kepada orang tua.

Namun, kejadian yang sebenarnya tidak selalu sama dengan apa yang diekspetasikan. Ketika kenop pintu itu baru saja dibuka, suara seseorang yang berteriak langsung menyapa gendang telinga. Kalau sudah seperti ini ...

Nayna menatap ke arah tangga, ada adiknya di sana, Zian. Bocah lelaki itu duduk dengan kaki tertekuk dan kepalanya yang terbenam. Di saat situasi seperti ini, selalu saja membuat hati Nayna merasa tertekan.

Gadis itu melangkah cepat menaiki tangga, menyapa adiknya dan menyuruhnya untuk masuk ke kamar tanpa harus mendengar perdebatan kedua orang tuanya.

"Ayo, Zian ... ada kakak di sini," ucap Nay berusaha menenangkan.

Zian mendongak, matanya sembab. Banyak pula bercak-bercak air di sekitaran pipinya. Namun, bocah sembilan tahun itu menurut pada kakaknya.

Nayna hendak menutup pintu ketika Zian sudah masuk ke dalam kamarnya. Namun, ada kata-kata mengejutkan yang didengar telinganya. Berasal dari mulut Ibu kandungnya sendiri.

"Aku mau pisah, Mas."

***

Awalnya, yang menetas dari langit berupa rintik-rintik sunyi yang menenangkan. Namun, perlahan membesar hingga bau petrichor menguap keluar.

Nayna tidak mau berbuat banyak, gadis itu menggelesor malas di kursinya. Telinganya disumpal earphone yang mendengarkan lagu barat kesukaannya.

I'm not crying 'cause, you let me on my own...

I'm not crying 'cause, you let me with no warning...

Semua isi lagu itu, menurut Nayna seakan mewakilkan seluruh perasaannya. Masih tergambar jelas kejadian dua hari lalu waktu itu, ketika surat pengakhir hubungan rumah tangga terlihat di depan mata Nayna sendiri.

Tentang 'Dia'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang