Pertemuan yang tak disengaja dengan Mamanya, membuat Nay terus kepikiran hingga kini. Raga dan hatinya tidak bisa diam. Ingin tidur pun, rasanya jadi jauh lebih sulit. Gadis itu sudah menggunakan berbagai cara seperti mengedipkan mata dengan cepat sampai semenit untuk mendapat tidur nyenyaknya.Tapi tidak bisa juga. Berbaring ke kanan dan kiri pun rasanya tidak nyaman. Kemudian, Nayna tiba-tiba merasa ada yang membelai rambutnya dengan lembut. Gadis itu menengok ke samping, tidak ada siapa pun. Ah, berarti tadi dia hanya berhalusinasi jika Mamanya ada di sini.
Nayna lupa, gadis itu masih punya jadwal dua kali lagi untuk kesembuhan dirinya. Nay membiarkan kepalanya menggelesor ke bawah bersamaan dengan selimutnya yang jatuh. Semua penglihatannya berbalik, tapi Nay cukup konyol memberinya alasan kalau dia akan tertidur dengan posisi seperti ini.
Gadis itu mulai memejamkan matanya, secara perlahan. Biarkan pikirannya kosong sementara agar ia bisa tertidur. Menyingkirkan sejenak masalah yang menjadi beban pikirannya.
Sedikit lagi, sepertinya Nayna sudah hampir memasuki alam bawah sadarnya dan tertidur. Namun, suara klakson mobil yang biasanya berbunyi jika Ayahnya sudah pulang membuat Nay kembali terjaga.
"Papa," gumamnya.
Nay beringsut bangun dari tidurnya. Kaki jenjangnya kemudian menapak pada lantai, berjalan pelan menuruni tangga. Ada Ayahnya yang baru saja pulang kerja, membawa tas dan jas kantorannya.
"Papa," panggil Nay lebih dulu. Ayahnya menoleh, mengerutkan kening ketika anaknya masih belum tidur di jam larut seperti ini. Untungnya, besok adalah hari Sabtu.
"Nay? Kok, belum tidur?" Ayah Nay berkata sembari membuka sepatunya, yang kemudian diletakkan di rak sepatu samping pintu utama.
Nayna telah sampai di anak tangga terakhir. Gadis itu menghela napasnya. Merasa bingung harus mengatakan dari mana. "Nay gak bisa tidur."
"Kenapa?" Kini Ayahnya berjalan menuju sofa, duduk di sana dan tidak langsung mandi. Menyetel televisi.
"Nay ketemu Mama."
Nay masih berdiri di tempatnya, tidak ada niat untuk menghampiri Ayahnya. Pria itu menghadap Nay sebentar, kemudian kembali menatap televisi dengan pandangan datar.
"Nay mau ketemu Mama," kata Bay lagi. Ayahnya sibuk mencari saluran televisi yang bagus. Ia nampak tak tertarik sama sekali dengan topik yang dibicarakan Nay. "Pa--"
"Katanya tadi udah 'ketemu' Mama? Janji Papa udah lunas karena kamu sendiri, kan?"
Nay mendecak diam-diam. Bukan itu yang ia maksud. Nay menghampiri Ayahnya, ikut duduk di sofa tapi tidak persis di samping Ayahnya.
"Tapi Mama langsung lari ketika liat Nayna," lanjutnya. Ayahnya menghela napas, lantas mematikan televisi dengan remote control dengan kasar.
"Papa capek, Nay. Tolong jangan bebankan Papa dengan hal-hal yang begitu dulu."
"Tapi, Pa. Sebenernya apa alasan kalian memilih bercerai?" Nay mengungkapkan semuanya. Ya, akhirnya. Apakah ini waktu yang tepat untuk bertanya sesuatu yang ingin Nay tahu? "Nayna sebagai anak juga berhak mengetahui apa yang terjadi, kan? Apa yang kalian sembunyikan dari Nay selama ini?"
Ayahnya menghela napas. "Nay, Papa baru aja pulang kerja. Mana sopan santun kamu?"
"Tapi Nayna butuh--"
"Nay! Gak usah bahas Mama kamu lagi. Dari awal, kami emang mengikat pernikahan tanpa rasa."
"Papa bisa jelasin--"
"Udah malam. Anak remaja kayak kamu harusnya tidur, Nay."
Nay bungkam. Dia tidak dapat membalas perkataan Ayahnya lagi ketika dia beranjak pergi. Dalam hati Nay terus meminta maaf atas yang telah ia lakukan malam ini, namun tidak tersampaikan lewat bibirnya.
Ayah Nay tiba-tiba berhenti. "Papa ingat, dulu kamu punya banyak temen kecil."
Nayna mengerutkan keningnya, Ayahnya sama sekali tidak menoleh selama tadi ia bicara. Namun, Nay menunggu kalimat selanjutnya.
"Kamu tau gak, alasan Papa ngelarang kamu naik motor? Papa trauma ketika orang yang paling Papa sayang, meninggal. Dia itu nenek kamu, meninggal saat umur 24 tahun, waktu itu Papa masih umur 5 tahun. Dan juga ... kamu tau berita mengejutkannya lagi dari kisah Papa gak?"
Nay menggeleng, walaupun ia tahu kalau Ayahnya tidak akan bisa melihat karena ia tak menoleh.
"Salah satu orang tua dari sahabat-sahabat kecil kamu itu, ternyata disukai Mama sejak lama." Hening. Namun, kembali terdengar kalimat dari Ayahnya, "Itu alasannya. Kamu gak perlu tanya-tanya sama Papa lagi."
***
Apa salahnya jika Nay bertanya hanya sekadar tahu? Agar ia tidak seperti bocah kecil yang tak mengerti sama sekali. Nayna lelah, kadang hidup ini banyak sekali rintangan dan cobaan. Berkali-kali gadis itu rasanya ingin mengeluh. Namun, itu tidak dapat mengubah segalanya.Pandangan mata Nay memang ke depan, memperhatikan guru yang mengajar. Namun gadis itu tidak fokus dalam menekuninya. Pikirannya justru melayang ke mana-mana.
Lalu, suatu benda mengenai belakang kepalanya. Membuat Nay menoleh dengan dahi berkerut, tidak ada yang mengaku. Nay mengalihkan pandangannya ke bawah, untuk melihat benda apa yang tadi mengenai kepalanya.
Hanya sebuah gumpalan kertas.
Nay mengabaikan. Mungkin saja hanya orang iseng yang melemparinya.
Tak lama, ada yang mengetuk kepalanya lagi. Nay memang kesal, dia tidak suka diisengi beberapa kali. Biasanya, yang sering iseng di kelas ini adalah Jeno. Nay mengalihkan pandangan ke mejanya, Jeno bersiul pelan. Berarti benar yang tadi melemparinya gumpalan kertas adalah dia.
Nay mengambil gumpalan tersebut. Niatnya hendak melempar balik pada Jeno, namun tertahan ketika melihat cuplikan kalimat. Nay membukanya dan membacanya.
'Di pesta Septia nanti, lo jadi pasangan gue, mau?'
Nay membulatkan matanya, tidak percaya jika ini benar-benar ditulis oleh Jeno. Atau bisa jadi orang lain. Nay ikut menuliskan kalimatnya di sana, kemudian melempar kertasnya kembali pada Jeno.
Jeno segera membacanya. Nay yang memperhatikan dari jauh menghela napasnya.
'Gissele?'
Jeno menulis lagi.
'Dia kan gak sekelas sama kita. Lagian gue males kalo jadi pasangan dia, ogah.'
Jeno melempar lagi. Mereka seperti sedang memainkan pesan-pesanan tersurat seperti anak kecil. Namun, lemparannya ternyata dilihat oleh Guru yang tak disangka tiba-tiba berbalik dari papan tulis.
"Jeno! Sedang apa kamu?" tanya Guru itu. Jeno menggaruk kepalanya yang memang sedang gatal.
"A-anu, Bu--"
"Ambil kertas yang kamu lempar tadi, serahin ke Ibu!"
Nayna mencuri waktu untuk membuka kertasnya dan membaca sekilas. Dia langsung paham. Jeno berjalan menghampiri Nay, awalnya gadis itu tak percaya jika Jeno mau memberikan kertasnya pada Guru. Namun, cowok itu kadang-kadang sulit ditebak.
Jeno memang mengambil kertasnya tadi, namun merobek-robeknya hingga jadi serpihan kecil. Sepertinya, dia tidak suka jika privasinya harus diganggu.
"Loh, kenapa kamu robek? Bukannya tambah nyampah?" Bingung Guru itu.
"Enggak sih, Bu. Sengaja Jeno robek biar pengurai kerajinan kertas makin enak ngerjain tugasnya."
Satu kelas tertawa, entah apanya yang lucu. Tapi Jeno berani sekali dengan Guru itu. Yah, bukan Jeno namanya kalau sshari tidak berbuat ulah.
"Keluar kamu! Lewati pelajaran saya hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang 'Dia'
Teen FictionCerita terinspirasi dari kisah nyata sendiri. [DON'T COPY MY STORY. MAU DIBUNUH?🔪] __________ Hancur. Semua yang pernah Nayna bayangkan menjadi kenyataan. Kini ia tenggelam dalam ketakutannya sendiri, hingga Nayna mengidap alter ego. Namun, tiba...