> Lembar 14

14 5 1
                                    

    Tamparan keras mendarat di pipi Adrian saat itu juga. Bunyinya melengking dengan nyeri, Adrian sendiri sampai tidak percaya jika Nayna barusan ... menamparnya. Cowok itu menyentuh pipinya yang tadi bekas Nay tampar, begitu hangat.

"Gue gak suka kalau lo ngatur-ngatur gue tanpa penjelasan! Lo kira, semua orang tahu apa yang ada di pikiran lo sekarang, hah? Mikir, Adrian! Mikir!" Nayna berteriak. Namun, teriakannya tidak akan mengganggu siapa pun saking sibuknya mereka dengan pesta yang sedang berjalan.

"Nay! Harusnya lo dengerin gue, di kue itu ...."

"Apa?! Kadang gue mikir, gue nyesel pernah kenal sama lo. Kalau bukan gara-gara olimpiade yang dipilih sama Bu Dessy waktu itu, kita gak akan pernah kenal, kan?" Nayna memotong perkataan Adrian tadi. Semua rasa yang Nay pendam selama ini, ia luapkan pada Adrian, menjadi pelampiasan. Cowok itu tak percaya jika Nayna bisa berkata sekejam itu pada dirinya. Kemudian, Nayna melanjutkan kata-katanya lagi, yang mengejutkan di pendengaran Adrian. "Mulai sekarang, gue gak akan mau kenal dan ketemu lagi sama lo."

Setelah itu, Nayna beranjak pergi dari tempatnya bersama Adrian tadi. Cewek itu kembali ke tempatnya, hanya untuk mengambil tas selempang yang tadi Nay bawa. Jeno sedaritadi bolak-balik mencari Nay, hingga ia memergoki Nay di depan pintu keluar. Dengan cepat, Jeno berlari dan menghampiri Nay.

"Woy, mau ke mana lo? Pestanya juga belum selesai, kok," sapa Jeno lebih dulu. Tadinya dia tertawa-tawa menganggap Nay hanya lelucon ingin pergi dari pesta ini. Namun, kekeh-kekehannya terhenti ketika Jeno melihat langsung tubuh Nay yang bergetar.

Wajahnya ditutup oleh kedua tangannya. Ah, sial, Jeno baru sadar kalau Nayna menangis. Tangan cowok itu kemudian meraih tangan Nay untuk menarik dan melihat wajahnya, kedua matanya berlumuran air dan sembab. "Bakpia, lo kenapa, sih? Kok, nangis? Cengeng banget. Apa lo terhura kalau Septia sekarang punya pacar dan semakin gede?"

Jeno masih menganggap ucapannya tadi sebagai lelucon. Percayalah, ini dia lakukan untuk menghiburnya jika Nay benar-benar merasa sedih.

"Gak lucu! Bukan karena itu ... intinya gue mau pulang, No! Gue mau pulang." Kalimat terakhir yang diucapkan Nayna tampak seperti lirihan, membuat Jeno jadi tak tega dan berhenti tersenyum.

Tanpa Nay duga, tiba-tiba saja Jeno menyeretnya masuk supaya lebih dekat dengan dada bidangnya. Kedua tangan hangat milik Jeno melingkar di tubuh Nay, memeluknya. Jantung Nay berdebar-debar, belum pernah dia dipeluk oleh seorang lelaki hingga seperti ini.

Hanya dua yang ada di pikiran Nay saat ini, apakah ada yang melihat dirinya tengah berpelukan dengan Jeno? Atau ... jangan-jangan ada Gissele yang sedaritadi memperhatikan?

Namun, Nay rasa, kemungkinan yang terakhir itu sangat tidak mungkin. Karena, Gissele itu kelas IPA, bukan Bahasa. Detik ini juga, Nay merasa nyaman. Benar apa yang dibilang oleh kebanyakan orang, dengan berpelukan bisa membuat hati kita tenang dan mengusir sejenak masalah dan kesedihan yang sempat hinggap.

Nay membalas pelukannya. Tanpa sepengetahuan Nay, Jeno melengkungkan bibirnya ke atas. Senang bisa membuat Nay merasa nyaman. Akankah dia adalah orang yang Jeno cari selama ini?

Suara jepretan yang muncul secara samar-samar seketika membuat Jeno mengambil sikap waspada. Dia yakin ada yang sedang memotretnya.

"Nay, ayo kita pergi," ucap Jeno pada akhirnya. Namun, sama sekali tidak ada respon dari Nay.

"Nay?" Jeno memanggilnya sekali lagi. Akhirnya Jeno terpaksa mengambil cara lain yang mungkin sedikit kasar dan dapat melukai hati wanita. Jeno melepaskan pelukannya dengan Nay secara paksa.

Sialnya, mata Nay terpejam. Tubuhnya hampir ambruk ke bawah, membuat Jeno refleks menangkap tubuh Nay dan menggendongnya secara bridal.

"Sial, jangan-jangan ada obat di jaket gue?" gumam Jeno. Cowok itu melepaskan jaketnya dengan sebelah tangan, Jeno tidak ingin menghirup jaketnya untuk memastikan. Karena nantinya pasti akan tambah berbahaya.

Kini, terlihat Jeno yang hanya mengenakan kaos putih tanpa jaket hitam. Cowok itu membawa Nay ke parkiran yang tengah pingsan, kemudian memasukkannya ke mobil. Jaket yang tadi ia pakai dilempar masuk ke atas kursi samping pengemudi.

Baru sekarang Jeno menyadari, ada yang ingin menjebaknya dengan Nay! Cowok itu buru-buru melajukan mobilnya untuk pergi.

Satu jepretan kamera lagi ketika Jeno pergi dengan mobilanya, tertangkap. Seseorang yang tadi bersembunyi akhirnya keluar. Bibirnya mengulas senyuman puas, tinggal tunggu waktu besok untuk menyebar luaskan berits heboh ini ke satu sekolah, bahkan bisa saja sampai ke sekolah lainnya.

Namun, senyuman puas yang tadi mengembang di bibirnya tiba-tiba luntur. Berganti dengan tawa jahat dengan suara yang sumbang. "Dunia terlalu kejam buat gue. Maka, gue gak mau ngebiarin dunia lo terlalu indah untuk dinikmati."

Kemudian, Gissele melangkah pergi dari tempatnya. Membawa kamera yang tergelantung di lehernya. Gadis itu berjalan menuju tempat sampah terdekat yang ada di jalanan sepi ini, membuang sekantung plastik hitam ke dalamnya. Sebelum dia berlari untuk segera pulang.

***

"Gue ...."

Nayna menyentuh kepalanya sendiri dengan tangannya, merasa pusing di bagian sana. Seingatnya, tadi malam dia pergi ke pesta Septia. Kemudian dia juga ingat jika dia meminta pulang pada Jeno, tapi Jeno malah memeluknya. Mengingat kejadian itu membuat semu merah di pipinya keluar. Benar-benar memalukan.

Tahu-tahu dia sudah berada di kamarnya sekarang. Entah siapa yang mengangkutnya ke dalam. Bisa saja Ayahnya? Tapi, Nay terlalu berat untuk diangkat daripada dirinya waktu masih kecil. Gadis itu melirik jam weker di atad nakasnya, jam tujuh lewat lima menit.

Seketika, Nay membulatkan kedua matanya. Gadis itu buru-buru bersiap, tanpa mandi. Hanya menyemprotkan parfum ke bagian tubuhnya yang perlu. Kemudian, melesat menuruni tangga.

"Papa!" panggil Nay lumayan keras, tidak ada sahutan. "Papa udah berangkat belum, sih?"

Nayna menuju dapurnya. Di atas meja makan sudah tersedia roti berselai stroberi. Di sampingnya ada kertas note beserta tulisannya.

Nay lebih memilih membaca note-nya.

'Nay, Papa mau bangunin kamu tadi pagi tapi gak tega. Ini Papa udah siapin kamu roti. Ah, iya, sebenarnya, seminggu ke depan Papa gak bisa pulang karena kerjaan. Mungkin kamu ngerti. Maaf kalau Papa gak bilang-bilang ke kamu.'

Nay meremas note itu. Kemudian merobek-robeknya menjadi bagian kecil, dan membuangnya ke tempat sampah. Gadis itu memukul meja makan hingga benda-benda yang ada di atas sana bergetar.

Tubuh Nay terjatuh, dia langsung memeluk lututnya. Air matanya jatuh, lagi.

"Kenapa semua orang selalu menjauh dari Nay? Membiarkan Nay kesepian gak ada teman?"

Saat itu, Nay tidak jadi pergi. Gadis itu hanya menangis dan terus menangis. Dalam hati Nay terus bertanya, kapan badai permasalahan hidupnya berhenti?

Tentang 'Dia'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang