Hari ini adalah harinya. Tadi malam Nayna sudah menghabiskan waktunya selama dua jam dari jam sembilan hingga sebelas malam. Nayna membahas tentang keberangkatan mereka dengan Adrian. Namun ketika Nayna berusaha pamit dengan Ayahnya, pria itu menolak keras jika Nayna harus pergi bersama lelaki."Papa gak setuju."
Nayna pasrah. Biasanya kalau sudah seperti ini, pertanda kalau Ayahnya tak bisa terbantahkan. Jadi dengan terpaksa Nayna membatalkan rencananya dengan Adrian hanya dalam hitungan detik, menyuruhnya agar tidak usah menjemput dia di rumah.
"Papa yang antar kamu sekarang. Hari ini Papa ambil cuti, kenapa kamu gak bilang kalau ada acara ini, sih?!"
Nay hanya diam, tidak berniat untuk membalas perkataan. Gadis itu mengikuti arah Ayahnya pergi, menuju bagasi.
"Ayo, cepet. Nanti kamu terlambat. Lain kali, Papa gak suka kalau kamu boncengan sama temen kamu naik motor."
Ternyata ... semarah ini Ayahnya ketika tahu jika Nayna pernah dibonceng sekali dengan Adrian menggunakan motor. Mobilnya telah melaju, meninggalkan area pekarangan rumah. Pria yang duduk di samping Nay menancapkan gasnya dengan terburu-buru. Padahal, waktunya juga tidak terlalu mepet.
Kadang-kadang, Nay cukup terharu dengan perlakuan perhatian dari Ayah kepadanya. Tapi, apa penyebab Ibunya yang malah meninggalkan Nay dengan Ayah?
Nayna menatap ke luar jendela mobil milik Ayahnya dengan bosan. Sudah sekian lama gadis itu tidak pernah diantar-antar lagi seperti ini, tapi Nay cukup menikmati.
"Kamu perempuan, Nay. Papa cuma gak mau kamu kenapa-napa," ujar Ayahnya tiba-tiba.
"Iya," jawab Nay tanpa menoleh sedikit pun. Gadis itu masih asyik melihat keluar sana.
Arta yang merupakan Ayah kandung Nay, cukup peka jika anaknya sedang mengambek. Tapi Arta pikir, ini semua demi keselamatannya. Karna Nayna adalah putri tercinta satu-satunya yang ia miliki.
"Kamu mau apa?" Pertanyaan Arta tadinya bertujuan untuk menghibur Nayna yang cemberut.
Tapi Nayna menatap Ayahnya dengan binar bercahaya. Ada besar sekali harapan di matanya, bahkan bibirnya cukup ragu untuk mengungkapkan keinginannya.
"Sebutin aja, inshaa Allah Papa turutin."
Nayna mengetukkan jari telunjuk kiri dan kanannya secara bersamaan, berulang-ulang. Arta melirik anak gadisnya dan berusaha menerka apa yang ada di pikirannya.
"Nay mau ... ketemu sama Zian dan Mama, boleh?"
Dalam hitungan detik, ekspresi wajah Arta langsung berubah. Pria itu menghadap jalanan di depan seperti sedang fokus menyetir. Beberapa saat, keadaan sempat hening. Sejujurnya, ini adalah permintaan sulit baginya. Arta sendiri tidak tahu di mana tempat tinggal dan kabar Zian serta mantan istrinya.
Nayna meneguk salivanya sendiri, gadis itu kembali menghadap depan. Tidak ada jawaban dari Ayahnya. Itu berarti permintaannya antara ditolak atau tidak. Nayna tahu, pasti berat untuk Ayah tercintanya. Tapi Nay benar-benar rindu dan ingin tahu bagaimana kabar mereka, dia sendiri masih berharap jika kedua orang tuanya masih bisa berbalikan dan kembali seperti semula. Tapi itu semua kecil harapannya.
Kalau begitu, Nayna harus menunggu. Karena kita tidak akan pernah tahu bahwa hidup membawa kita ke garis yang mana. Takdir memang sudah ditetapkan, tapi Nayna yakin bisa berubah seiring kita mau berusaha.
***
Suara riuh dan banyaknya orang di sini membuat Nay cukup kesusahan mencari keberadaan Adrian. Seandainya tadi dia datang bersama dengan cowok itu, pasti tidak akan sesusah ini. Namun, Nay tidak menyesalinya sama sekali ketika ia harus diantar oleh Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang 'Dia'
Teen FictionCerita terinspirasi dari kisah nyata sendiri. [DON'T COPY MY STORY. MAU DIBUNUH?🔪] __________ Hancur. Semua yang pernah Nayna bayangkan menjadi kenyataan. Kini ia tenggelam dalam ketakutannya sendiri, hingga Nayna mengidap alter ego. Namun, tiba...