> Lembar 16

12 4 3
                                    

  "Ke mana?"

"Ke mana apanya?" Nayna menatap bingung cowok yang tiba-tiba muncul di hadapannya, Jeno. Berulang kali dia mengitari sekolah, awalnya tisak menemukan Nayna di mana-mana.

Namun tiba-tiba, cewek ini ada di kantin pada detik-detik bel masuk akan berbunyi.

Kemudian, benar saja bunyi bel langsung terdengar nyaring. Membuat para murid-murid yang tadi masih beraktifitas di sini langsung buru-buru untuk kembali ke kelasnya, kecuali Nay dengan jeno.

"Ke mana lo pergi? Tadi gue udah nyari-nyari, ternyata lo ada di sini."

Nayna tersenyum lebar, beberapa helai rambut yang turun menutupi sedikit bagian wajahnya, menyembunyikan sembab di kantung mata. "Hehe, laper," jawab Nay dengan terpaksa.

Jeno tiba-tiba menyingkap uraian rambut yang menutupi sebagian wajah Nay itu, tangannya meraba pipi halus dan lembab itu sebelum menarik tangannya kembali ketika sadar kalau Nayna bukan mahramnya.

Ah, biasanya juga Jeno suka sembrono terhadap wanita. Namun bersama Nayna, tiba-tiba dia merasa 'ingin' melindunginya.

"Lo nangis. Mata, mulut, sama hati itu emang suka beda." Jeno meraih pergelengan tangan Nay dan menariknya.

"Eh, mau ke mana?"

"Kalau guru BK keliling, bahaya. Kalau gue yang berkeliling di hati lo, juga bahaya."

"Dih?"

"Karna nanti lo bisa suka."

Nayna refleks memukul dada bidang Jeno, kemudian gadis itu tak lupa mengambil batagornya yang masih di atas meja. "Baru tau gue, cowok kayak lo bisa gombal juga. Basi!"

Nayna berjalan mendahului Jeno, cowok itu juga membiarkannya saja. Namun mengikutinya. Nayna mempercepat langkahnya, agak terburu-buru sampai matanya menatap tangga.

Rooftop ada di lantai tiga, tapi Nayna harus melewati beberapa kelas anak sepuluh. Gadis itu sudah memantapkan hatinya. Ia tahu bahwa haters-nya itu sudah banyak di sini. Nayna baru saja datang, berlari meletakkan tas di rooftop dan turun ke bawah. Dirinya malah disambut dengan hal yang tak menyenangkan, padahal Nayna telah berusaha membangun dirinya.

Dia tidak jadi tidak berangkat sekolah. Terlambat tapi tepat tidak masalah, itu yang pernah dikatakan Ayahnya.

"Lo ngikutin gue," ucap Nayna ketika dia baru saja menginjakkan kakinya di rooftop sekolah.

"Emang kenapa? Masalah buat lo?"

"Masalah banget." Nayna berbalik, Jeno ada di sana. Pelan-pelan cowok itu mendekatinya, hingga tersisa jarak setengah meter.

"Gue tebak, pasti lo datang agak telat. Kabur ke sini buat naro tas ..." Jeno menunjuk tas pink Nayna yang ada di atas kursi, tempatnya sedikit bersembunyi. Ada tumpukan kursi tak terpakai lainnya di sini. "... terus lo nangis gara-gara masalah itu? Kabur ke kantin ketika lo tahu bel bakal bunyi dan gak akan ada orang-orang lagi yang kelayaban keluar kelas."

"Gue tebak, lo sampe lupa naro tas ke dalam kelas demi cari gue. Apa manfaatnya nyari dan ikutin gue?" Nayna berbalik bicara. Mereka berdua sedang sama-sama berpikir kritis. Masih tidak ada yang mau mengalah.

Semilir angin menerpa wajah keduanya, membuat Jeno sadar jika ia sedang berdua dengan Nayna. "Gini. Logikanya, buat apa lo ke sekolah kalau cuma mau bolos?"

Pertanyaan mudah yang dapat Nayna jungkir balik, "Logikanya juga gini, buat apa lo ke sekolah kalau cuma nyari dan nunggu gue di sini?"

"Gue kalah!" seru Jeno pada akhirnya, Nayna pintar sekali membolak-balikkan semuanya. Mereka berdua sama-sama benar, juga sama-sama salah dengan perlakuannya.

Nayna tersenyum kecil, meraih tas pink yang baru ia beli beberapa hari lalu.

"Oke, mungkin lo benar. Sekarang gue mau pulang," ucap Nayna sembari memggemblok tas ke punggungnya.

"Lo mau pergi gitu aja? Menghindar? Tanpa mau tahu yang sebenarnya? Nayna Putri Artamevia, lo inget gue, gak?"

Nayna mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

"Gue ... orang yang selalu ninggalin lo, jahat sama lo, dan segala macam keburukan yang dulu pernah gue lakuin ke lo. Namun yang bikin gue takjub, walau lo sering disakiti berulang kali, lo tetep kuat. Hebat." Jeno bertepuk tangan dengan riuh sendiri. Tanpa takut apa ada orang yang mendengar atau tidak. Beberapa detik kemudian, Jeno menghentikan aksinya. "Bahkan, saat gue tahu keluarga lo punya banyak masalah juga, gue heran kenapa gak pernah kepikiran di hati lo buat ... maaf, bunuh diri?"

Nayna mendecih, air matanya turun lagi. Dia hanya gadis cengeng tanpa aksi. Namun Nayna enggan mengeluarkan isaknya, sudah cukup air mata. "Jangan sok tahu sama urusan gue. Orang luar gak tahu apa-apa! Gue gak sekesepian itu asal lo tahu, gue bisa bangkit sendiri bahkan tanpa bantuan siapa pun."

"Tapi lo cengeng." Jeno mendekat dan mengusap air mata Nayna, membuat gadis itu malah semakin mengalirkan air beningnya. "Lo sok kuat. Dulu gue suka sama sahabat gue sendiri, hingga akhirnya sahabat gue yang lain gak suka kalau gue suka sama dia. Kami bertengkar, sampai sekarang. Tahu alasannya apa? Sahabat gue yang lain itu ternyata juga suka sama orang yang gue suka. Gak tau kalo misalnya gue suka lo, apakah ada orang yang suka lo juga dan jadi saingan gue?"

"Hah?"

"Turun!"

"Maksudnya?"

"Ayo kita turun," perintah Jeno dengan nada suaranya yang menurun. Nayna menengok sedikit ke bawah tangga, membayangkan hal yang akan terjadi selanjutnya. "Guru BK--"

"Mau dihukum atau cengo kayak orang bego di sini?"

Tentu saja Nayna tidak mau mengambil pilihan yang terakhir. Gadis itu mengambil dan membuang napasnya berulang kali, dengan jantung berdebar yang semakin menjadi-jadi. Debaran itu bukan karna ia sedang bersama Jeno, tapi karna takut kalau harus berhadapan dengan guru BK langsung.

Akhirnya, Nayna menggeleng. Jeno berhasil mengalihkan pembicaraan mereka. Cowok itu juga bingung mengapa Nayna bisa tak mengerti. Dalam hati ia bertanya-tanya.

Nayna ... amnesia? batin Jeno ketika cowok itu memandangi punggung Nayna yang berlapiskan baju seragam putih. Oh, tunggu. Ada sesuatu samar-samar yang terlihat, berwarna hitam. Segaris.

Seperti tali ....

Kini giliran Jeno yang menggeleng keras, ah, dia terlalu berpikiran yang macam-macam. Nayna menengok dan berkata, "No, lo jalan duluan aja, deh."

Kedua pipi Jeno masih bersemu malu melihat yang tadi. Dasar pikiran cowok!

Dengan gugup, Jeno berkata 'iya' dan langsung mengambil alih bagian depan.

Kayaknya, belum tepat. Kenapa gue bego ngomong gitu ke Nayna? Ngomong-omong, baju seragamnya kelihatan udah tipis. Harusnya dia ganti baru, kapan terakhir kali dia beli baju? Gue yakin pasti Nayna lagi terpukul makanya gak sempet. Kalau dia beneran amnesia, sekarang gue ngerti apa yang lagi terjadi. Batin Jeno sebelum pundaknya disentuh oleh tangan dingin seseorang yang membuat cowok itu menengok.

"Asiap, Pak." Refleks Jeno yang membuat Nayna geleng-geleng kepala pelan dan mengigigit bibir bawah dalamnya karna khawatir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang 'Dia'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang