•••
Erlangga sedang makan di meja makan saat orang tuanya melangkah masuk memasuki rumah. Baru jam delapan malam. Pakaian mereka menunjukkan kalau mereka baru pulang dari sebuah pesta yang sama. Saat orang tuanya hendak melanjutkan langkah menaiki anak tangga. Pintu rumah kembali terbuka. Kali ini Ares yang datang, lengkap dengan seragam sekolahnya yang selalu berantakan.
“Dari mana kamu?” Marendra berucap dingin. Tak Erlangga sangka kalau papanya akan berbalik kembali. Ditambah raut tak bersahabat yang ditunjukkannya. Erlangga rasa, hal buruk akan segera terjadi.
“Main.” Ares menjawab enteng tapi Erlangga yang menahan napas karena takut.
“Main?! Saat papa dengan baik-baik minta kamu ikut kami ke acara tadi, kamu justru pergi main seenaknya sampai malam begini?” Retoris, karena papa sepertinya juga tak mengharapkan jawaban apa pun, sepertinya beliau benar-benar emosi. Papa jarang marah, papa hanya marah karena hal-hal penting. Hal penting yang dimaksud dalam hal ini adalah harga dirinya, di mata orang banyak.
“Aku udah bilang gak akan datang.” Ares tetap santai menghadapi kemarahan papanya. Jika papa dan mama boleh disibukkan oleh pekerjaan dan melupakan anak-anak mereka, maka Ares juga berhak melakukan hal yang sama. Mengacuhkan kedua orang tuanya.
“Kamu!!” Marendra mengacungkan jarinya tepat di hadapan wajah Ares. Tangannya sampai bergetar karena kemarahan yang meluap-luap. Kentara sekali kalau emosi itu perlu disalurkan. Erlangga mendekat menghampiri mereka, takut bila hal yang tidak baik akan terjadi.
“Papa sudah berbangga hati saat berjanji pada kolega bisnis papa kalau akan mengenalkan kamu sebagai penerus papa di acara itu. Tapi kamu seenaknya pergi, bermain? Mau ditaruh di mana muka papa, hah?!”
“Yang seenaknya di sini itu siapa? Papa atau Ares? Ares sudah pernah bilang kalau Ares nggak akan pernah mau jadi penerus papa. Ares punya keinginan sendiri di masa depan. Ares nggak mau menjadi seperti papa. Ares nggak mau jadi orang yang egois.” Nada bicara Ares rendah dan penuh penekanan, terdengar menakutkan di telinga Erlangga yang terbiasa mendengar kata-kata lembut kakaknya.
Tak tahan lagi, tangan sang papa akhirnya melayang, tamparan keras mendarat di pipi kanan Ares. Ini pertama kalinya sang papa melakukan kekerasan, dan hal itu tentu menyakitkan bagi Ares. Papa tidak pernah peduli, tapi dia seenaknya dalam melakukan apa pun yang dia mau. Memaksa semua orang melakukan keinginannya.
“Lalu mau jadi apa kamu, hah?! Arsitek? Buat apa susah-susah bekerja dari awal kalau kamu sebenarnya bisa meneruskan bisnis besar yang papa bangun? Kamu tidak menghargai usaha papa selama ini? Iya?!”
“Aku jawab juga, papa nggak akan ngerti. Karena papa egois, papa cuma memikirkan diri papa sendiri.”
“Ares, jaga bicara kamu. Mama nggak pernah ngajarin kamu bicara kasar.” Kali ini Kirana yang angkat bicara setelah hanya diam sejak tadi.
Ares hanya bisa tertawa sumbang. “Memangnya mama pernah ngajarin sesuatu sama Ares?” Kirana tentunya marah. Tapi dia orang yang ahli mengontrol amarahnya.
“Papa nggak akan pernah mengizinkan kamu menjadi arsitek.” Tegas sang papa kembali yang disambut kekehan lucu dari Ares. Erlangga sangat heran pada hal itu. Apanya yang lucu?
“Saya tidak butuh ijin dari Anda. Anda hanya perlu melakukan apa yang selama ini Anda lakukan. Sibuk, sampai-sampai tidak ingat kalau ada dua anak yang membutuhkan Anda. Jadi Anda tidak perlu memikirkan bagaimana nasib saya ke depannya, karena itu urusan saya sendiri.” Ares mengganti gaya bicaranya pada sang papa. Setelah itu hening.
Entah apa yang Erlangga pikirkan. Dia maju di antara mereka saat sang papa kembali mengayunkan tangannya pada sang kakak.
Ares tak merasakan tamparan kedua yang harusnya ia dapatkan. Tapi, Erlangga yang datang dengan senang hati justru yang menerimanya. Anak itu tidak terlalu tinggi. Sehingga bukannya mengenai pipi, tapi justru ujung kepala. Tapi tetap saja papa mengerahkan seluruh tenaganya. Erlangga ambruk dengan dahi yang terantuk meja di ruang tamu karena kehilangan keseimbangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
mundane
Fiction générale• end • mun·dane /ˌmənˈdān/ • lacking interest or excitement; dull • -- revisi ✓ !! TW !! bullying, suicide mohon jangan dibaca kalau mempunyai permasalahan di atas, atau sekiranya ada sangkut pautnya