dua belas

4.7K 365 32
                                    

•••

Dear mama dan papa,

Padahal aku bener-bener pengen bicara sama kalian. Tapi mau gimana lagi kalau emang nggak bisa. Kayaknya pembicaraan aku juga nggak penting-penting banget sih. Aku aja nggak penting, gimana omonganku, hehehe.

Sebenarnya aku cuma mau curhat ma, pa. Di sekolah, ada temen-temen yang terus-terusan gangguin aku. Mereka bilang aku anak cupu, mereka suka malakin uang aku, mereka bilang aku cuma berlindung di balik punggung bang Ares. Mereka bahkan udah mulai mukulin aku. Rasanya sakit banget ma, pa. Saat aku butuh pertolongan, tapi gak ada satu pun yang mau bantuin.

Aku ngaduan benget ya? Sebenarnya aku bukan mau ngadu. Aku cuma mau bicara sama kalian. Cuma bicara, bentar aja gak papa. Aku cuma cari alesan, hehehe. Tapi emang sulit banget sih, sesulit itu. Bukan sekali dua kali aku coba, berkali-kali pa, ma. Cuma emang nggak pernah kesampaian. Aku sering nunggu kalian pulang, tapi malah ketiduran karena kalian pulangnya malam banget. Saat ada waktu pun kalian masih sibuk sama pekerjaan kalian, aku juga gak mau ganggu. Gimana pun ... kalian cari uang buat aku kan?

Aku jadi bingung harus gimana. Soalnya sekarang udah nggak ada abang yang bisa ngeladenin segala ocehan aku yang nggak bermutu. Biasanya abang suka datang malem-malem ke kamar aku cuma buat dengerin aku ngoceh. Biasanya juga ada bang Ares yang ngelindungin aku dari orang-orang jahat itu. Abang di luarnya aja yang serem, dalemnya mah lemah lembut kayak cewek. Tapi kan sekarang abang udah nggak ada. Aku jadi bingung mau curhat ke siapa.

Tahu nggak, ma, pa? Kemarin aku mimpi abang datengin aku loh. Dia minta aku ikut sama dia. Aku nggak tahu ke mana, tapi aku nurut aja dan janji bakal nunggu dia. Kapan pun dia mau aku ikut, ya tinggal jemput. Tahu nggak kenapa? Ya ... karena aku udah kangen berat sama dia. Mama papa kangen gak sama dia?

Curhat lagi ya, ma, pa. Keterusan dikit gak papa kan? Aku sama Bang Ares buat lukisan bersama. Lukisan terakhir yang kami buat sebelum Bang Ares pergi. Aku nggak pernah siap ngelihatnya, masih ditutup sama kain putih, karena jujur ... lukisan itu nyakitin. Jadi aku buat lukisan sendiri yang baru, kali ini tanpa abang yang ngebantuin. Ada di kamarku kalau papa sama mama mau lihat. Lukisan itu lebih nyata dan nggak nyakitin kok. Tapi lihat lukisan di kamar abang dulu baru lukisanku ya? Janji, harus.

Cuma itu sih yang pengen aku tulis. Banyak banget ya? Aku memang secerewet itu. Padahal masih banyak yang pengen aku sampaiin, tapi pegel tangan aku kalau lama-lama nulis, mending bicara langsung. Iya kan? Besok-besok kita juga bisa bicara. Jadi kenapa harus nulis panjang-panjang?

Anggap aja ini rencana pembicaraan aku nanti sama mama dan papa, draft. Biar nggak canggung gitu. Biar agak lama juga. Rasanya pengen aja bicara panjang lebar sama mama dan papa. Udah itu aja deh, nanti malah ngelantur kemana-mana.

Your son, who love you, always

Langga

_________

Air mata Kirana menetes pada selembar surat yang ia temukan di meja belajar anaknya. Surat yang sempat Erlangga tulis sebelum ajal menjemputnya. Marendra di sampingnya, mengusap bahunya lembut. Berusaha menyalurkan kekuatan di saat dirinya sendiri sedang lemah-lemahnya.


Sangat lucu memang.

Erlangga hanya mau bicara kalau anak itu sering diganggu di sekolah. Hal yang sama, yang merenggut Erlangga dari pelukan mereka.

Seandainya mereka dulu mau mendengarnya bicara. Setidaknya mereka bisa menghentikan pem-bully-an yang menimpa anak bungsunya itu. Seandainya memang begitu, Erlangga masih bisa berada di sini, di sisi mereka. Berbicara panjang lebar seperti yang anak itu mau.

Atau ... Seandainya mereka mengangkat telepon dari pihak sekolah kala itu. Paling tidak mereka bisa segera datang dan meyakinkan putranya agar mau bertahan. Agar putranya tidak memilih untuk menyerah. Hal yang sama yang kakaknya dulu pilih.

Tapi apa yang bisa mereka lakukan sekarang?

Erlangga mereka yang ceria sudah tidak ada. Erlangga yang selalu menunggu kepulangan mereka hingga larut sudah tidak ada. Erlangga yang selalu menerima kekurangan mereka sebagai orang tua sudah tidak ada.

Yang ada hanya kenangan. Kalau Erlangga pernah ada dan memberi kebahagiaan tersendiri bagi mereka.

Mereka sudah gagal. Sangat gagal sebagai orang tua.

Putra pertama mereka, Ares. Memilih untuk pergi karena sudah tidak tahan akan tuntutan mereka yang ternyata memang terlalu besar. Meninggalkan sejuta luka pada mereka.

Putra bungsu mereka, Erlangga. Harus pergi karena mereka lalai dalam menjaganya. Lalai dalam tugasnya sebagai orang tua.

Keinginan terakhir Ares hanya agar mereka menjaga adiknya. Menggantikan posisi yang selama ini diisinya. Tapi ternyata mereka juga gagal, untuk yang kesekian kalinya. Mereka terlalu bodoh untuk menyadarinya.

Mereka hanya bisa menangis tergugu sambil memeluk satu sama lain. Mengais sisa kenangan yang mungkin masih tertinggal. Kenangan dari kedua putra mereka yang sudah pergi lebih dulu dan mendapatkan kebahagiaan mereka di sana.

- Tamat -

•••

aku tuh mewek nulis ini. dari awal sampai akhir. sebenarnya agak gak tega, tapi ya gimana ya? ini harus, wkwkwk

mundaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang