•••
Rapat yang berlangsung hening terganggu akibat dering ponsel Marendra. Diliriknya sekilas ponsel itu. Hanya pihak sekolah, paling-paling Erlangga berbuat ulah. Walau hal itu sebenarnya jarang terjadi, hal yang sempat Marendra pikirkan mengingat betapa pentingnya rapat kali ini. Dimatikannya ponsel itu agar tak kembali mengganggu jalannya rapat.
“Maaf, kita bisa lanjutkan rapatnya.”
Di tempat lain
“Nggak-nggak, model ini nggak pas sama bajunya. Cari model lain.” perintah Kirana pada bawahannya.
“Ini kenapa jahitannya nggak rapi begini?! Ulang lagi!” serunya.
Wanita karier itu bolak-balik sana-sini untuk memastikan kalau pergelaran busananya minggu depan akan berjalan lancar. Hal ini sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Maka tak akan ia biarkan usahanya sia-sia, apalagi karena hal-hal kecil.
“Bu, ini ada telepon dari pihak sekolah Erlangga, mau dijawab tidak?” tanya asisten pribadinya.
“Nggak usah, kamu nggak liat saya lagi sibuk banget?” ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari daftar baju yang ada di tangannya.
“Tapi kayaknya penting. Udah berulang kali, Bu.”
“Atasannya itu kamu atau saya?” Asisten itu hanya bisa diam dan pergi.
Di tempat yang jauh dari sana
“Tidak diangkat pak, baik ayah atau ibunya.” Wanita berseragam guru itu menghela napas frustasi. Padahal keadaan ini sangat darurat. Tapi orang tua Erlangga masih terlalu sibuk.
“Ya sudah kita bawa pulang saja. Nanti kita jelaskan kalau orang tua Erlangga sudah pulang.” Keduanya hanya bisa menghela napas lelah untuk yang ke seribu kalinya. Mereka bingung harus menyikapi keadaan dengan bagaimana.
...
Rumah ramai saat mereka pulang, hal yang sangat terjadi. Kebetulan tadi Marendra pulang bersama Kirana karena mereka harus makan siang bersama, lagi-lagi karena tuntutan bisnis.
“Ada apa ini, Pa?” tanya Kirana bingung. Kebanyakan dari orang-orang itu mengenakan pakaian yang serba hitam. Apalagi ada bendera kuning yang tertancap di gerbang rumah mereka.
“Nggak tahu, coba kita liat.”
Tatapan semua orang teralih kepada mereka. Tatapan itu seakan berkata agar mereka kuat. Tatapan itu berkata kalau mereka juga ikut turut berduka. Tatapan aneh yang tak mengenakkan hati. Tatapan yang sempat mereka dapatkan juga beberapa minggu yang lalu.
Pasangan suami istri itu melangkah cepat menuju ruang tengah yang lebih ramai karena perasaan tak enak yang mulai menggerogoti hati.
Marendra dan Kirana berhenti, mematung di tempatnya berdiri. Dari sana mereka bisa melihat putra bungsu mereka yang terbaring kaku dengan wajah pucat. Tubuhnya diselimuti kain hingga sebatas dada. Menyisakan hanya wajah seputih kapas yang bisa dilihat. Pasangan suami istri itu beringsut mendekat.
“Lang,” panggil Kirana dengan nada bergetar.
“Kamu ngapain tidur di sini?” Kirana mengusap kepala anaknya yang diperban. Ternyata tubuh anaknya sangat dingin, terlampau dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
mundane
Fiksyen Umum• end • mun·dane /ˌmənˈdān/ • lacking interest or excitement; dull • -- revisi ✓ !! TW !! bullying, suicide mohon jangan dibaca kalau mempunyai permasalahan di atas, atau sekiranya ada sangkut pautnya