•••
Pemakaman berlangsung hening. Tiada pembicaraan karena semua yang hadir begitu kaget. Memang siapa yang bisa memprediksi kematian akan segera datang?
Erlangga mengamati semua orang yang hadir. Orang-orang yang dia benci.
Sanak saudara, om-tante, serta kakek dan nenek. Mereka bukan keluarga bagi Erlangga dan Ares. Mereka orang yang selalu memberi beban pada mereka, terlebih pada almarhum Ares. Erlangga selalu mengingat bagaimana orang-orang itu berkata kalau Ares adalah anak yang tak diinginkan. Ares adalah anak di luar nikah. Ares bukanlah buah cinta, melainkan aib semata. Mereka menunjukkan terang-terangan bagaimana mereka membenci Ares dan Erlangga. Di keluarga besar, mereka tak pernah dianggap sebagai keluarga. Erlangga masih ingat jelas hal itu.
Guru-guru dan beberapa teman sekelas di sekolah juga hadir untuk menyuarakan bela sungkawa. Yang Erlangga yakini hanya tipu daya semata. Mereka bahkan tak pernah menganggap Ares manusia di sekolah. Hukuman yang guru-guru berikan di sekolah juga terlalu berat untuk kesalahan Ares yang tergolong kecil. Teman sekelas? Bukankah mereka hanyalah orang yang berani mencibir Ares di belakang. Erlangga yakin mereka senang karena tidak ada lagi sosok perusuh di kelas.
Orang tuanya pun sama saja. Kalau dipikir-pikir, merekalah alasan terbesar bagi Ares untuk memilih pergi. Tapi Erlangga tetap tak bisa membenci kedua orang tuanya. Pasangan suami istri itu terlihat seperti patung sejak jenazah Ares dibawa kembali dari rumah sakit. Mereka diam dan melakukan hal-hal seperti yang orang lain instruksikan. Erlangga tak mendapati setetes pun air mata dari mereka. Apakah Ares memang tak pernah berharga di mata mereka?
Semua orang mulai pergi karena prosesi pemakaman sudah berakhir. Hanya tinggal Erlangga dan orang tuanya.
Marendra dapat melihat kalau Erlangga begitu rapuh saat ini. Anak itu duduk dan menatap kosong papan nama kakaknya. Marendra tahu kalau kepergian Ares merupakan pukulan terberat bagi Erlangga, begitu pula dengannya dan Kirana. Bedanya, mereka bisa mengontrol kesedihan, sementara Erlangga tidak. Rasa bersalah, sedih, dan kecewa tentunya ada. Bahkan sangat besar. Tapi mereka tidak boleh rapuh saat masih ada Erlangga yang membutuhkan mereka.
Marendra menyentuh bahu anaknya pelan, “Lang.”
Anak itu mengedipkan matanya, menyebabkan air mata yang sejak tadi sudah berkumpul kini jatuh. Marendra ikut sedih karena air mata Erlangga tak pernah berhenti untuk Ares. Marendra takut Erlangga tak akan pernah menerima kepergian kakaknya, sehingga memilih jalan yang sama untuk bertemu kakaknya. Cukup satu kali ia merasa kehilangan, tidak lagi.
“Papa sama mama pulang duluan aja, Langga mau di sini dulu, aku nggak mau kakak aku kesepian.” ucap anak itu pelan.
“Jangan begini, Langga. Kalau kamu gini terus, Ares pasti sedih di sana. Kalau kamu bahagia, Ares juga pasti bahagia di sana, itu kan yang kamu inginkan.” Tak Marendra sangka kalau Erlangga justru kembali terisak, makin keras dan berubah menjadi tangisan pilu tak berapa lama kemudian.
Marendra bingung harus berbuat apa. Selama ini Erlangga tak pernah menangis di depannya. Saat Erlangga masih kecil pun dia lebih memilih menyewa pengasuh untuk mengatasi tangisan anaknya itu. Mulai tumbuh dewasa, Erlangga hanya menceritakan keluh kesahnya pada Ares, atau memilih untuk memendamnya sendirian.
Ternyata tubuh Marendra lebih tahu apa yang harus ia lakukan. Marendra membawa Erlangga ke dalam pelukannya. Mengusap punggung anak itu penuh sayang. Hal yang tak pernah ia lakukan seumur hidupnya, justru ia lakukan setelah kepergian anak pertamanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
mundane
Narrativa generale• end • mun·dane /ˌmənˈdān/ • lacking interest or excitement; dull • -- revisi ✓ !! TW !! bullying, suicide mohon jangan dibaca kalau mempunyai permasalahan di atas, atau sekiranya ada sangkut pautnya