dua

4.9K 550 10
                                    

•••

Erlangga mengerjakan tugasnya sambil menonton TV di ruang keluarga. Ia berharap ada keajaiban yang mendatangkan anggota keluarganya di tengah kesepian yang mendera ini.

Erlangga melepaskan kaca matanya karena merasa tak nyaman. Matanya rabun jauh, hanya sedikit tapi lumayan mengganggu jika sedang pelajaran. Maka dari itu, dia memilih menggunakan kaca mata di sekolah. Sedangkan di rumah, dia lebih suka melepasnya.

Bola matanya bergilir meniti angka demi angka dan akhirnya menuliskan jawaban yang dirasanya paling tepat. Konsentrasinya sedikit terganggu saat mendengar pintu utama rumah dibuka. Siapa yang datang semalam ini, bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Ketukan high heels mulai terdengar di ruangan sunyi itu, jelas dan konstan. Rupanya mama. Wanita itu langsung berjalan menuju dapur tanpa menyapanya terlebih dahulu. Sebenarnya sudah biasa, tapi tetap saja terasa sakit. Erlangga menutup buku dan bangkit mengikuti mamanya. Wanita paruh baya itu meletakkan plastik bawaannya di meja makan yang luas, lalu menuju kulkas dan mengambil air dari sana. Lantas duduk di dekat Erlangga sambil meminum air itu. Dengan keanggunan yang tak pernah lepas dari sosoknya.

“Mama udah pulang? Tumben banget,” Erlangga terlampau girang, hal yang seperti ini jarang didapatinya di rumah.

“Menurut kamu?” jawabnya singkat, tapi tak mengurangi kebahagiaan Erlangga. Pertemuan mereka bisa dikatakan lebih jarang daripada keluarga normal lainnya. Hal ini seperti keajaiban baginya. Mungkin tak akan datang dua kali, jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

“Mama bawa apa?” Erlangga mendekati meja tempat Kirana meletakkan plastik bawaannya tadi. Sedangkan Kirana masih tetap di tempatnya, menghabiskan minuman. Kirana sosok yang kalem dan luwes. Minum saja harus pelan-pelan dan memakan waktu cukup lama. Tapi Erlangga justru menikmati hal yang menahan mamanya untuk waktu yang lebih lama itu.

“Kue.” jawabnya singkat lagi. Erlangga membuka plastik itu. Dan benar, isinya kue. “Buat Langga?” tanya anak itu lagi. Jika benar mama membelikan kue ini untuknya, maka ia akan menobatkan hari ini sebagai hari paling membahagiakan seumur hidupnya.

“Hmm.” Hanya gumaman yang menjadi jawaban, tapi Erlangga menganggapnya sebagai ya.

Senyuman lebar terbit di bibir kecilnya hingga menular ke mata. Sungguh ini adalah hal terindah di hidupnya. Mama tak pernah membelikannya apa pun. Beliau hanya akan memberi uang, lantas meminta Erlangga untuk membeli semua kebutuhannya sendiri. Erlangga dan Ares sudah dilatih mandiri sejak kecil, bahkan terlampau mandiri. Walaupun hanya kue yang harganya tak seberapa, Erlangga sangat bahagia untuk itu.

“Aku makan ya, Ma?” Tanpa menunggu balasan, Erlangga langsung duduk dan melahap kue itu dengan lahap. Seakan tiap irisan kue itu adalah makanan paling enak di dunia yang paling langka dan sulit didapatkan. Kirana hanya mengamati dari tempatnya. Ia kembali teringat akan kronologi pembelian kue itu, dan merasa sedikit bersalah karenanya. Senyum miris terbit di bibirnya saat merasakan hatinya sedikit tercubit.

Flasback on

Kirana melangkahkan kakinya anggun memasuki salah satu toko kue yang terkenal di Jakarta. Ia kemari untuk menemui teman-temannya semasa SMA dulu, ceritanya sih reuni kecil-kecilan. Matanya menjelajah mencari meja khusus yang sudah temannya pesan. Ternyata ada di pojok ruangan. Mejanya cocok dijadikan tempat reuni lima orang seperti yang telah direncanakan. Teman-temannya sudah hadir dan dia menjadi yang terakhir datang.

“Wah, akhirnya Kirana datang juga.” Salah satu dari mereka yang bernama Mitha bangkit dan melakukan cipika-cipiki dengan Kirana. Dilanjutkan dengan yang lainnya. Gaya khas kaum sosialita di kota metropolitan.

mundaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang