•••
Dulu, Erlangga masih bisa bercakap riang dengan Ares. Masih bisa melakukan segala kegiatan bersama kakaknya. Mereka bisa bercerita ini-itu tanpa ada batasan lagi, tanpa ada rasa takut dan terkekang. Tapi kini semua itu tak bisa dilakukan. Sudah tidak ada Ares lagi. Erlangga benar-benar merasa sendirian saat acara ‘kumpul’ keluarga di hari Sabtu berlangsung. ‘Kumpul’ keluarga pertama setelah kepergian kakaknya.
“Pa, Ma, Langga mau bicara.” ujarnya memecah sepi. Berharap Marendra dan Kirana mau mengalihkan perhatian mereka, sedikit saja. Ini pertama kalinya Erlangga bicara setelah hanya diam berhari-hari. Dan kali ini ia ingin didengarkan walau sekali saja, tidak apa-apa.
“Hmm, bicara aja.” jawab Marendra. Sang papa bahkan tak menolehkan kepalanya sedikit pun dari laptop di pangkuannya. Erlangga menghela napas kesal. Tapi ia memilih untuk memendam kekesalannya itu sendiri. Seperti biasanya. Dia selalu kalah dengan papa dan mama.
Erlangga tahu, papa dan mama tak akan mendengar. Jadi, ia memutuskan untuk hanya mengamati mereka berdua dengan tatapan penuh makna. Merekam semua hal yang bisa ia jadikan kenangan. Mencocokkan dengan ‘our dream life’ miliknya dan sang kakak yang telah pergi. Ternyata jauh berbeda.
Keinginannya untuk bicara dan meluapkan isi hati pun sirna entah ke mana. Karena kehadirannya di sini seakan tak berguna, maka Erlangga memutuskan untuk berdiri dan kembali menuju kamar. Lagi pula, kantuk sudah menyerangnya.
“Mau ke mana kamu? Katanya mau bicara.” tanya Kirana mendongakkan kepala dari sketsa yang sejak tadi dia gambar. Dunia ibunya, sang perancang busana ternama di Indonesia. Hal yang sangat wanita itu bangga-banggakan lebih dari anaknya sendiri.
“Ke kamar, Langga ngantuk, mau tidur dulu. Bicaranya besok-besok aja kalau mama sama papa udah punya waktu.” jawabnya jujur.
“Lain kali jangan asal nyelonong, tidak sopan.” Marendra menatapnya tajam. Seakan ia melakukan kesalahan yang tak bisa dimaafkan lagi. Tapi ya sudahlah, biasanya juga begitu.
“Maaf pa, Langga ke kamar duluan, mau tidur. Selamat malam.” Mau tak mau, Erlangga memperbaiki ucapannya tadi. Agar semua cepat selesai.
“Hmm.” Hanya gumaman tak jelas yang Erlangga dapatkan. Salahkah kalau dia pernah berharap?
...
Sabtu berganti Minggu, Minggu berganti Senin, begitu seterusnya hingga kembali ke Sabtu lagi. Erlangga harus hadir di acara ‘kumpul’ keluarga lagi.
Akhirnya dia kembali pada kegiatan yang selama ini ia lakukan, melukis. Tentu tanpa Ares. Sebenarnya Erlangga ingin keluar dari dunia yang satu itu. Melukis hanya akan mengingatkannya pada sang kakak. Tapi dia tahu kalau Ares pasti sedih kalau Erlangga berhenti melukis. Dan tentunya Erlangga tak ingin Ares sedih saat sang kakak harusnya sudah bahagia di sana.
Erlangga tak tahu akan melukis apa. Jadi dia hanya menggoreskan pensil secara asal. Melukis apa pun yang ada di depannya, yaitu papa dan mama. Berbekal pensil dan kertas, ia menyelesaikan lukisan itu dengan cepat karena sudah terbiasa melukis papa dan mama, dengan segala hal monoton yang selalu mereka lakukan.
Papa dan mama duduk di kursi sofa yang sama. Hanya papa ada di ujung kanan, sedangkan mama ada di ujung kiri. Bagian tengah lukisan masih kosong. Sebuah ide terlintas di pikirannya. Mungkin dia bisa memindahkan sedikit bagian dari ‘our dream life’ ke lukisan ini. Dia mulai melukis dirinya sendiri di sebelah mama, sedangkan dia menempatkan Ares di sebelah papa. Kedua anak itu dibuat bersandar di bahu kedua orang tuanya sambil bercakap-cakap satu sama lain.
Erlangga tersenyum kecut memandangi hasil lukisannya, tidak buruk. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan, jadi dia boleh undur diri dari acara ini. Papa dan mama mengizinkan. Erlangga dengan serampangan membereskan beberapa lembar kertas dan pensil lukisnya. Lantas pergi setelah mengucapkan selamat malam.
Tanpa sadar kalau lukisannya tadi justru tertinggal. Kirana memberesi semua barangnya yang ada di meja karena pekerjaan telah selesai. Wanita itu juga mengambil lukisan tadi karena mengira itu salah satu kertas sketsanya. Ternyata milik Erlangga, batinnya saat melihat lukisan itu. Matanya memanas tanpa bisa dicegah. Dia segera pergi sebelum Marendra melihatnya menumpahkan air matanya.
Kirana meletakkan lukisan itu di kamar Erlangga, tepatnya di meja belajarnya. Ternyata anak itu sudah tertidur, cepat sekali. Kirana menghampiri anaknya. Tanpa sadar tangannya bergerak sendiri membelai wajah Erlangga yang lelap.
Kirana selalu menyukai bentuk bibir Erlangga, sangat mungil dan berwarna pink alami. Dipadukan dengan kulit putihnya, Erlangga jadi terlihat seperti bayi. Kirana menikmati wajah yang terlelap itu, sangat damai. Kirana mengecup kening putranya pelan karena takut mengganggu. Kali ini penuh sayang, tanpa drama dan tidak dibuat-buat.
...
Pelajaran fisika selalu membosankan untuk Erlangga. Rumus-rumus yang banyaknya tak terkira, menjawab soal dengan cara yang berbelit-belit, kerumitan yang Erlangga tak sukai. Ia mengabaikan Pak Sudarsono yang menjelaskan di depan sana. Lagi pula guru itu terkesan menjelaskan untuk dirinya sendiri, bukan untuk murid.
Jari-jari Erlangga bergerak lincah di atas buku tulisnya yang bergaris. Melukiskan apa yang ada di pikirannya Saat ini. Apalagi jika bukan Ares.
Dulu melukis hanya sekedar hobinya. Erlangga juga tak pandai-pandai sekali dalam bidang itu. Tapi lama-lama, melukis berubah menjadi kebiasaan karena Ares. Kakaknya itu memiliki hobi yang sama. Lukisan Ares jauh lebih bagus daripada Erlangga. Erlangga termotivasi, hingga akhirnya terus berlatih hingga mahir. Bukan untuk menyaingi sang kakak. Melainkan untuk mengimbangi lukisan Ares saat mereka memutuskan untuk mulai melukis bersama.
Erlangga selalu menyukai Ares saat sedang melukis. Hingga akhirnya ia menuangkan bayangan Ares itu dalam lukisannya saat ini. Erlangga membuatnya dengan penuh perasaan.
Jangan lupa bahagia, Lang, buat gue. Tetep hidup dan jangan nyerah walau betapa capeknya elo.
Kata terakhir Ares kembali terngiang. Erlangga akhirnya paham maksud kakaknya itu.
Berengsek lo bang.
Erlangga memaki dalam hati. Dengan tangan yang mengusap air mata di pipi, entah sudah mengalir sejak kapan. Ingatan Erlangga kembali terlempar pada hari itu. Hari yang ingin ia lupakan, tapi tak bisa. Hari di mana akhirnya kakaknya yang kuat, akhirnya memilih untuk menyerah. Hari di mana Erlangga menemukan kakaknya sudah tak bernyawa di pagi hari karena overdosis obat tidur. Hari di mana Erlangga kehilangan sosok yang paling berharga baginya. Hari di mana dunia seakan runtuh baginya.
Erlangga kecewa. Karena kakaknya tidak mau bertahan. Karena ia tak bisa berbuat lebih padahal ia bisa. Sakit akan kenyataan bahwa kakak yang selalu dibanggakannya tak lagi ada.
Jangan lupa bahagia, buat gue
Gimana caranya, Bang?
Tetap hidup
Paling nggak sebelum lo pergi, kasih tahu dulu caranya. Gue mana tahu caranya hidup kalau nggak ada lo.
Jangan nyerah
Hahaha, terus kenapa lo nyerah?
Kayak gue
Gue kan adik yang baik. Kalau gue ngikutin apa yang lo lakuin, salah gak sih?
•••
betul tuh, Erlangga kan adik yang baik, ngikutin kakaknya nggak papa kali yaa. gimana nih kabar hati kalian?
KAMU SEDANG MEMBACA
mundane
Ficção Geral• end • mun·dane /ˌmənˈdān/ • lacking interest or excitement; dull • -- revisi ✓ !! TW !! bullying, suicide mohon jangan dibaca kalau mempunyai permasalahan di atas, atau sekiranya ada sangkut pautnya