•••
Pukul 22.30, Erlangga masih terjaga untuk menunggu kepulangan papa dan mamanya. Menahan kelopak mata yang mulai memberat karena kantuk. Biasanya papa pulang pada pukul 23.00, sedangkan mama pada pukul 22.45. Sebentar lagi Lang, sabar, yakinnya dalam hati, berharap papa dan mama segera pulang.
Tontonan TV di depannya sama sekali tidak ada menarik-menariknya. Matanya memang mengarah ke sana, tapi pikiran dan hatinya jelas tak ada di sana. Berulang kali ia menghembuskan napas lelah. Berkali-kali ia melirik ke arah jam. Waktu berjalan lambat saat sedang ditunggu-tunggu, sungguh menyebalkan.
Apa mereka gak pulang ya malam ini? Tanyanya dalam hati. Jujur, Erlangga masih ingin bicara pada mereka. Menyampaikan pembicaraan beberapa hari lalu yang belum sempat terucap. Juga membicarakan banyak hal lain, entah apa pun itu. Ia ingin mengeluarkan isi hatinya saja. Memendam sesuatu sendirian itu tidak enak. Erlangga jadi tidak tenang dan perasaannya terasa buruk. Dia juga sekalian ingin menghabiskan waktu dengan papa dan mama, keinginannya selama enam belas tahun hidup di dunia, yang sebenarnya sangat sederhana.
Mungkin memang belum waktunya. Erlangga jatuh tertidur saat jam menunjukkan pukul 22.40. Padahal tinggal sebentar lagi. Tapi apa mau dikata.
Pintu depan terbuka. Tak lama, ketukan high heels terdengar menggema. Kirana memasuki ruangan dengan wajah letih, rambut panjangnya tergerai berantakan. Menandakan kalau hari ini ia sudah bekerja keras dan tidak memerlukan gangguan lagi, apa pun itu.
Putra bungsunya tertidur di sofa depan TV. Kirana mendekatinya, lantas geleng-geleng kepala. Ia sudah lelah tapi sekarang bertambah lelah lagi. Sambil bergumam kesal dia berkata, “bisa gak sih TV dimatiin kalau gak ditonton.”
Kirana mematikan TV yang masih menyala lantas pergi begitu saja. Ia sudah terlalu lelah bahkan untuk mengambilkan selimut untuk putranya. Dibiarkannya Erlangga meringkuk sendirian di sofa, kedinginan.
Pukul 23.05, giliran ketukan sepatu pantofel yang terdengar. Marendra datang sambil melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Diliriknya sang anak yang tertidur di sofa depan TV. Lelaki paruh baya itu berjalan menuju saklar dan mematikan lampu. Boros listrik, menurutnya. Lantas menaiki tangga menuju kamarnya.
Tak ada di antara keduanya yang sadar kalau Erlangga kembali terjaga saat ibunya pulang tadi. Air mata kembali mengalir disertai harapan yang sudah pupus, menguap entah ke mana.
Padahal Langga cuma mau bicara sebentar, susah banget kayaknya.
...
Erlangga menikmati semilir angin menerpa rambutnya, menerbangkannya hingga rambut yang biasanya rapi itu menjadi acak-acakan. Dia baru tahu kalau rooftop sekolah bisa menjadi tempat senyaman ini. Diamatinya lalu lintas ibukota yang senantiasa padat merayap. Dinikmatinya terik matahari yang menyengat.
Suasana yang sunyi senyap membuat sebuah pikiran terlintas di kepalanya. Kalau gue terjun ke bawah, gue bisa langsung ketemu bang Ares gak ya?
Jangan salahkan pikiran ngawurnya karena Erlangga memang sudah serindu itu dengan kakaknya.
Tapi nanti masuk neraka dong. Pikiran-pikiran itu masih berlanjut di kepalanya. Akhir-akhir ini Erlangga memang sering memikirkan cara agar bisa segera bertemu sang kakak. Tapi semua pikiran itu tak ada satu pun yang terwujud, masih tertahan dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
mundane
Fiksi Umum• end • mun·dane /ˌmənˈdān/ • lacking interest or excitement; dull • -- revisi ✓ !! TW !! bullying, suicide mohon jangan dibaca kalau mempunyai permasalahan di atas, atau sekiranya ada sangkut pautnya