•••
Hari minggu setelahnya, Ares mengajak Erlangga mengebut lukisan mereka. Ares bilang, dia tidak sabar untuk melihat bagaimana lukisan ini nantinya. Erlangga menurut, toh sama sekali tak merugikannya.
Seharian mereka mengurung diri di kamar Ares. Tubuh mereka sudah kotor oleh coretan-coretan warna dari cat. Tapi mereka sama sekali tak peduli, euforia dalam menyalurkan hobi mengalahkan semuanya.
Lukisannya sudah hampir jadi. Setelah penyempurnaan, nanti sore lukisan ini sudah bisa dikatakan selesai. Erlangga dan Ares terlalu tenggelam pada lukisan mereka sendiri. Hingga tak sadar kalau bulir-bulir air mata menetes sesekali dari netra mereka, mereka terlalu hanyut dalam lukisan. Tapi secepatnya mereka menghapusnya. Tak ingin mengurangi bahagia dalam lukisan, ya, hanya dalam lukisan.
Tak terasa adzan maghrib sudah berkumandang. Akhirnya lukisan, atau tepatnya mural mereka telah rampung. Kakak beradik itu duduk di sisi kasur, menghadap dinding yang kini sudah dipenuhi lukisan hasil tangan mereka sendiri. Perasaan puas menyelusup dalam hati. Kerja keras mereka selama berhari-hari nyatanya tak sia-sia. Mungkin bagi orang lain, lukisan itu bukan apa-apa. Tapi bagi Ares dan Erlangga, lukisan itu penuh makna. Lukisan yang berisi kehidupan yang mereka impikan setiap malam.
Erlangga tak menyadari kala setetes air mata kembali mengalir di pipinya hingga Ares berkata, “nangis lo?”
Secepat kilat Erlangga menghapus air mata itu. Tapi sia-sia, Ares juga sudah melihatnya. “Enggak, lo kali yang nangis. Mata lo merah, Bang.”
“Nggak ah, efek ngantuk ini mah.” Ares mengelak. Dia tak akan menjadi lemah di depan siapa pun. Terutama adiknya. Ares adalah sosok yang selalu menguatkan Erlangga, bukan justru sebaliknya.
Erlangga tak sekuat Ares. Beberapa menit kemudian ia mulai terisak pelan. Berusaha menggigit bibir agar isakannya tak terdengar. Memandang lukisan itu bukan hanya membuatnya senang, tapi juga sesak di saat yang bersamaan. Erlangga merasa sakit karena lukisan itu hanya sebatas angan yang entah kapan akan terlaksana.
Ares mengusap bahu Erlangga pelan. Merangkulnya dalam pelukan erat, makin erat setiap detiknya seakan pelukan itu tak akan terlepas selamanya. Ares paham kalau adiknya sedang sangat membutuhkannya. Isakan Erlangga makin menjadi. Ares jadi merasa sakit tatkala mendengarnya. Dia tak bisa membantu Erlangga lebih dari ini. Semua keinginan Erlangga itu ada di luar batas kuasanya. Ares hanya bisa menjadi sandaran bagi adiknya, persis seperti yang selama ini ia lakukan.
“Nangis aja, gak papa.” Ares mengecup pucuk kepala adiknya. Ares lebih suka kalau Erlangga menumpahkan segala perasaannya, daripada hanya memendamnya sendirian.
“Kenapa sih, Bang? Harapan gue juga gak pernah muluk-muluk. Tapi kok rasanya susaaaaah banget buat menggapainya. Apa guenya aja yang kurang bersyukur?” Erlangga berucap disela isakannya. Kata-kata yang ia luncurkan juga tidak jelas. Tapi Ares paham. Menghabiskan waktu selama enam belas tahun bersama Erlangga membuatnya mengerti anak itu luar dalam.
“Enggak, Lang. Lo nggak salah.” Benar, di mata Ares adiknya tak pernah salah.
“Apa kita bukan anak papa mama ya, Bang?” celetuk Erlangga tiba-tiba.
“Hush, kita anak papa mama. Anak kandung.”
“Tapi kenapa nasib kita gini amat ya sebagai anak kandung?” Erlangga tak lagi terisak. Tapi air matanya tak mau berhenti. Pertanda kalau rasa sakit itu belum juga hilang, mungkin tak akan pernah hilang selamanya.
Ares paham perasaan adiknya saat ini, terlampau paham karena dia yang lahir lebih dulu. Merasakan kepahitan luar biasa karena lahir sebagai hasil dari sebuah kesalahan. Sejak kecil mereka tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Hanya ada pengasuh yang menemani mereka. Itu pun tak selamanya. Pengasuh pergi saat tugasnya dirasa cukup. Saat anak yang diasuhnya sudah bisa mengurus diri mereka sendiri.
Orang tua mereka memiliki ambisi hidup yang besar. Tak juga hilang walau dua anak titipan Tuhan sudah menemani mereka. Hingga akhirnya, Erlangga dan Ares yang menjadi korbannya. Tanpa satu pun kesalahan yang pernah mereka perbuat.
Setelah merasa adiknya sedikit tenang, Ares pun melepaskan pelukannya. Erlangga membaringkan tubuhnya di kasur, diikuti Ares. Kaki mereka menggantung di sisi kasur. Mereka menatap langit-langit putih kamar Ares.
“Lo pernah ngerasa capek nggak, Lang?” Erlangga menolehkan kepala ke arah kakaknya. Bingung terlihat di matanya yang masih sembab dan memerah.
“Capek?”
“Iya, hidup kita gini-gini aja. Ada bahagianya, tapi tetep aja banyak sedihnya. Lo capek nggak hidup kayak gini terus?” Ares menjelaskan panjang lebar maksud dari ucapannya.
“Capek ya? Iya sih, sering malahan. Tapi mau gimana lagi, Bang? Nggak ada yang bisa diubah, udah takdir kita kali.” Erlangga terkekeh getir menyelesaikan ucapannya.
“Gue capek, Lang.” Ares berucap tiba-tiba.
Erlangga bingung, ‘capek’ menurut kakaknya itu ‘capek’ karena hidup seperti yang mereka bahas baru saja, atau ‘capek’ karena kegiatan yang mereka lakukan tadi. Erlangga lebih memilih untuk mempercayai opsi kedua. Bukan tanpa alasan. Ares bukanlah sosok lemah yang akan mengeluh walau betapa lelahnya hidupnya. Ares baginya adalah sosok yang ikhlas menerima betapa sulit pun hidupnya. Ares juga tak pernah menyalahkan takdir yang dia terima. Padahal Erlangga tahu, kehidupan Ares jauh lebih susah darinya. Jadi, opsi pertama benar-benar tidak masuk akal.
Dalam opsi kedua, Ares sering melakukannya. Ares juga manusia. Dia bisa lelah setelah bermain bola. Dia bisa lelah setelah berlari berkilo-kilo meter. Dia juga bisa lelah karena melukis seharian. Jadi, Erlangga memilih untuk mempercayai opsi kedua. Walau hatinya menolak. Untuk pertama kalinya keluhan Ares benar-benar aneh dan mengganggunya. Perasaannya mendadak tidak enak, seperti ada yang mengganjal dalam hatinya.
“Ya tinggal istirahat, tidur. Gitu aja susah amat.” Erlangga menjawab setelah senyap beberapa lama. Erlangga berusaha mati-matian menutupi kegugupannya, yang entah mengapa tiba-tiba hadir dan mengganggunya seperti beban yang berat.
“Nanti lo bakal nyari gue nggak?” Ares menatap langsung pada mata adiknya yang terlihat kebingungan.
“Ngapain dicari, besok juga ketemu. Kalau butuh juga tinggal bangunin.”
“Yakin? Nanti jangan kangen ya.”
“Lo bicara apaan sih, Bang? Gak jelas banget. Kalau capek istirahat sana, omongan lo jadi ngelantur kemana-mana. Gue nggak suka. Lo kelihatan beda, bukan Ares yang selama ini gue kenal.” Erlangga menyerukan kekesalannya.
“Gue sayang sama lo.” ujar Ares.
“Tuh kan, lo makin aneh. Lo kenapa sih? Ada masalah? Cerita sama gue. Gue juga bisa jadi sandaran saat lo butuh. Jangan lo terus yang selalu ada buat gue, Bang. Gue ngerasa jadi adik yang nggak berguna, bahkan juga anak yang berguna.” Erlangga hendak pergi. Bukan karena bosan bercakap dengan kakaknya. Tapi karena ia tak suka kalau Ares terus berucap demikian. Erlangga hanya takut. Tapi sebelum niatnya terselesaikan, Ares sudah memeluknya terlebih dahulu. Sangat erat seakan tak ingin melepaskan.
“Jangan lupa bahagia, Lang, buat gue. Tetep hidup dan jangan nyerah walau betapa capeknya elo.” ucap Ares pelan. Tapi dapat Erlangga dengar dengan amat baik. Air matanya kembali mengalir saat kakaknya berucap lirih setelahnya,
“kayak gue.”
•••
hayo hayo hayo

KAMU SEDANG MEMBACA
mundane
Ficção Geral• end • mun·dane /ˌmənˈdān/ • lacking interest or excitement; dull • -- revisi ✓ !! TW !! bullying, suicide mohon jangan dibaca kalau mempunyai permasalahan di atas, atau sekiranya ada sangkut pautnya