02 -gwisin-nim

1K 125 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Selimut takut membuat langkah yang ditujukan untuk pulang ini sedikit lemas. Memejamkan mata, aku menarik nafas dalam. Hembus dingin hadiah sang malam, seakan jadi hal paling menyebalkan. 

"Gwaenchana, gwaenchana," bisikku pada diri.

Malam hari, kendaraan umum jarang beroperasi. Kalaupun ada, tingkat bahayanya tinggi. Alhasil, aku mengambil jalan pintas dari perpustakaan menuju rumah.

"Benar-benar dingin."

Berulang kali, menepis jauh pemikiran konyol yang sialnya seram. Akhirnya sampai juga di gerbang depan. Memasuki rumah besar yang nyaris selalu sepi ini, langkahku jadi terasa berat.

"Ini melelahkan," lirihku.

Jahat jika berbohong lewat narasi, kau dapat berpapasan dengan banyak bahagia di sana. Karena faktanya, bangunan yang mereka sebut rumah ini ... serupa sumber duka, ya, begitu untukku.

"Berhenti mengeluh, Sojeong-a." Layaknya topeng, seulas senyum kupasang.


"Aku ..., pulang." Sejujurnya, menyuarakan kalimat ini adalah bentuk kesia-siaan.


"Nona?" Bibi Han perlu diberi penghargaan. Sebagai hadiah karena telah setia menyambutku kala pulang.

Aku mengusung senyum yang lebih tulus. Anggap saja bentuk apresiasi. "Aku pamit ke kamar, Bi!"

Sedikit kisah tentang keluarga Kim. Orangtuaku itu, pengusaha yang harta kekayaannya melimpah ruah. Cabang perusahaannya tersebar sampai keluar Korea Selatan. Sekilas, hidup lebih dari cukup –siapa yang tidak bahagia?

Bertemu dengan mereka serupa hal langka. Kalaupun pulang, udaranya menyesakkan. Canggung pasti kami rasakan. Tidak seperti keluarga yang normal.

"Hari ini, benar-benar melelahkan." Aku merebahkan diri di atas ranjang. Memejamkan mata sejenak, berharap bisa tidur dengan lelap.




BRAK.




"Sial."


"Sojeong-a!" seseorang memanggil. Cepat-cepat aku merubah posisi yang semula berbaring menjadi terduduk.

"Wae?" aku bertanya antara lelah dan kesal.

Melihat si pembuka pintu tak bermoral, aku kembali merebahkan diri. Kenapa dia harus datang kesini? Taehyeong manusia yang berisik, mustahil aku bisa tidur dengan tenang.

"Pulangnya larut sekali." Taehyeong menutup pintu kamarku dari dalam. Lalu melangkah dan ikut berbaring di atas ranjang.

Kami berbaring sebelahan, menatap langit-langit kamar yang polos dan bersih. Cukup lama terjebak hening, yang untungnya tanpa rasa canggung.

"Gwaenchana? Apa terjadi sesuatu yang buruk?" ia mulai bertanya.

"Aniyo."

"Kenapa tidak bilang jemput? Aku kan pasti langsung datang," dia bergumam setengah kecewa.

After Rain ;  Sowon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang