Sekali Lagi, Menemui Masa Lalu

815 81 168
                                    

Masih kubaca setiap halaman novel Ranjang Sebelah. Menyusuri kepiluan Mbak Lowee yang tak pernah ditampakkan. Awal pernikahannya dengan Mas Roshan, aku muak melihat Mbak Lowee yang tertawa tanpa melihat betapa Mas Byan sengsara. Ingin memakinya, tapi keberanian tak mencukupi. Apalagi Mas Byan bilang, "Lihat mereka! Perempuan itu menjadi perekat antara Mas Roshan dengan Ummah. Menjadi biang tawa Buya, menjadi penghangat di keluarga ini. Perasaanku ini hal sepele dibanding kebahagian besar itu."

Izinkan aku menemui masa lalu sebelum esok menutupnya rapat-rapat. Aku ingin terlempar dalam bayang-bayang masa lampau ketika pernikahan itu membungkus kebohongan yang berkembang biak, sedang aku yang diharapkan berkembang biak melalui pernikahan ini justru tak pernah melakukan proses. Proses yang disebut perkawinan.

Seharusnya, di akad pagi itu, Mas Byan tidak mengabulkan kalimat 'qobiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahrin madzkur wa roditu bihi', melainkan 'qobiltu nikahaha wa latazwijaha' saja. Menerimaku dalam nikahnya dan tidak kawinnya. Jadi, dia tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan 'kapan program anak?' kemudian hari dari sanak famili.

"Mas, ini tasnya." Saat itu pernikahan kami sudah berjalan tiga bulan. Mas Byan tengah sarapan di ruang makan, ada Ummah di dapur bersama Zulfa yang entah sedang apa.

"Taruh saja di sofa depan, Nis." Mas Byan menyahut tanpa menoleh kepadaku yang sedang membawa tasnya untuk ke kampus.

"Embok yo, wes dadi bojo, ubah panggilane. Jangan nas-nis begitu. Jare Buya, penghormatan terhadap istri itu salah satunya tidak memanggil nama langsung." Ummah berkata sambil mengaduk-aduk sesuatu dalam panci yang dipanaskan di atas kompor. "Coba tiru bagaimana Rasulullah memanggil istrinya. Selalu pakai julukan. Selain bentuk penghormatan, itu juga menjadi penyubur cinta dalam hubungan kalian."

Mas Byan melihatku, kemudian tersenyum simpul. Entah apa yang dia simpulkan lewat senyum itu. Tentang sejarah Rasulullah atau tentang penyubur cinta?

"Minimal, panggillah 'dik'. Bukan berarti kamu menganggapnya sebagai saudara, tapi sebagai orang yang perlu diayomi. Seperti Nisa yang memaggilmu 'mas', itu karena menjadikanmu imam. Panutan."

Ummah kalau sudah menasihati memang paling ampuh. Buktinya setelah itu Mas Byan memanggilku dengan sebutan 'dik', meski awal-awal kerap meralat.

"Aku pergi dulu, Nis, eh Dik. Nggak usah diantar ke depan. Kamu belum sarapan. Assalamualaikum."

Kucium tangannya. Sepenuhnya mengharap rida, karena bagaimanapun dia suamiku. Perantara mencapai surga Allah jika menaatinya. Tapi Mas Byan kadang lupa kalau aku istrinya. Dia pergi tanpa mencium keningku. Sesekali dia balik lagi, seperti saat itu. Kemudian mencium sekilas sambil mengucapkan kata maaf.

Diperlakukan begitu saja sudah membuat hati renyuh. Terselip rasa bahagia. Dia masih menganggapku sebagai istri.

Repotnya, saat ada undangan dari famili atau hajatan di rumah yang melibatkan beberapa wali santri, kami yang tidak pernah betul-betul bersentuhan, harus saling meyakinkan. Bukan pada diri sendiri, tapi pada mereka yang bisa saja mencurigai. Aku akan berkelindan di tangan kekar Mas Byan, menjadikan otot-ototnya sebagai pegangan. Berusaha menampakkan wajah penuh kemanjaan layaknya istri sungguhan. Bersyukurnya Mas Byan tidak pernah keberatan. Tak masalah dengan sikapku yang tampak mesra berlebihan. Sungguh, awalnya itu kulakukan karena mendalami peran istri seorang Gus Byan.

Namun, aku terperangkap dalam peran. Menghayati sampai luka tak terasa perihnya. Mencintai Mas Byan bukan lagi soal peran istri yang dinikahi tanpa dikawini. Perasaan itu lebih halus dari roh, menyentuh lebih lembut daripada kapas, tapi kenyataan merobek melebihi tajamnya sembilu, menusuk lebih dalam dari pasak. Kenyataan tak ada perasaan sama dalam hubungan kami.

SINGLE KEDUA: Catatan dari NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang