Rumput Liar

504 72 50
                                    

Yang paling kuhindari setelah pisah dengan Mas Byan adalah perjodohan. Bukan semata karena janda itu merdeka dalam menentukan pilihan sebagaimana hadis Rasulullah, tapi lebih pada mencari cinta. Sesungguh-sungguhnya cinta. Kata orang, cinta tumbuh seiring waktu. Kataku tidak mesti berlaku, terutama pada laki-laki yang menyimpan masa lalu.

Perempuan memang bisa ditaklukkan dengan perhatian, tapi laki-laki terlalu rasional untuk perasaan.

Dua laki-laki yang duduk di hadapanku ini, di pojok Masjid Jami Malang yang mulai sepi, memiliki kesamaan; dilatari perempuan lain berikut kenangannya saat hendak meminangku.

"Ustaz, abah Nisa ini kakak kandung Buya, jadi Nisa ini adik sepupu saya."

Juga mantan istrimu, Mas.

Ustaz Ali mengangguk samar sembari menaikkan gagang kacamatanya ke pangkal hidung.

"Dan Ustaz Ali ini, Nisa, selain berdakwah beliau juga merintis lembaga pendidikan di Jakarta. Selebihnya nanti bisa ditanyakan langsung."

Mas Byan terdengar semangat menyatukanku dengan laki-laki pilihannya. Tapi tidak tahu bagaimana perasaanku yang enggan melakukan ini, kalau bukan karena bujukan Nalini yang mengatakan sekadar formalitas.

"Monggo, kalau ada pertanyaan, disampaikan saja!" kata Mas Byan yang menunggu dan kami—aku dan Ustaz Ali—saling berdiam diri. Kulirik Ustaz Ali sedang menegakkan duduk.

"Saya mau tanya satu hal ke antum." Suaranya benar-benar berkarisma.

"Afwan, sebelum jenengan tanya, saya mau memberi tahu satu hal." Nalini mempertanyakan hal apa yang ingin kusampaikan dari genggaman tangannya di pahaku. Seperti mewanti-wanti, jangan sampai bertindak di luar batas. "Sejujurnya, saat ini saya belum siap menikah lagi. Majlis taaruf ini seharusnya dilakukan oleh dua orang yang sama-sama siap menikah. Kalau salah satunya tidak siap, berarti tidak bisa disebut taaruf dalam konteks niat menikah. Jadi,"—kuberanikan diri menatap langsung mata elang Ustaz Ali—"apakah jenengan masih mau melanjutkan pertanyaan jenengan?"

Tak kupedulikan tatapan Mas Byan yang mencoba mengintervensi, begitu juga Nalini, terlihat syok mendengar pernyataanku yang agak menantang sekaligus menentang. Aku sekadar menegakkan prinsip, menjadi penguasa penuh untuk setiap keputusan masa depanku. Tidak lagi orang lain, bukan lagi demi orang lain.

"Masih kalau antum bersedia mendengarkan."

Di luar dugaaan, Ustaz Ali terlihat bernyali. Atau mungkin aku melukai harga dirinya, sehingga menentang kembali dengan meneruskan taaruf ini.

"Pertanyaan saya sejak awal bukan tentang antum siap menikah atau tidak. Tapi apa antum bersedia kalau saya kontak melalui teks? Karena saya sudah menyimpan nomor antum dari Gus Byan."

Nalini langsung menunduk, menyembunyikan matanya yang menyipit karena menertawakanku.

"Tidak dibolehkan sesama muslim memutus silaturahmi. Ndak apa-apa kalau jenengan mau kontak saya lewat teks, tapi maaf kalau saya lambat respons. Saya agak sibuk."

"Alhamdulillah. Syukron, Ning." Ustaz Ali menoleh pada Mas Byan yang tampak sekali mukanya berbinar-binar setelah sempat meredup tadi. "Saya kira sudah cukup, Gus, majlis ini. Karena Ning Nisa sudah menjawab pertanyaan saya."

"Kalau begitu saya tutup majlis ini dengan hamdalah."

"Alhamdulillahi robbil alamin." Kami berempat mengucapkan hamdalah serentak, kemudian mengakhiri majlis dengan meninggalkan masjid.

"Nis, mampir ke rumah dulu, ya. Mau lihat anak-anak sudah makan apa belum," kata Nalini setelah melajukan mobil meninggalkan halaman masjid. Aku mengangguk mengiakan ajakannya.

SINGLE KEDUA: Catatan dari NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang