Jendela Kututup, Pintu Kau Ketuk

641 82 136
                                    

"Bude, Nisa di mana? Nang jero?"

Waktu itu Mas Byan beranjangsana ke rumah. Biasanya datang mengucapkan salam, tapi hari itu tanpa salam, melainkan pertanyaan tentang keberadaanku yang kebetulan di kamar. Tak ada jawaban dari Umi. Tiba-tiba badannya kutemukan menyeruak dan duduk di dipan.

Itu bukan kebiasaan Mas Byan. Menerobos ke kamar gadis, apalagi tanpa bertanya diizinkan atau tidak. Aku gelagapan dan terkejut karena kebetulan tidak mengenakan hijab. Tetapi wajahnya yang memerah menahan marah, membuatku lebih mementingkan dia daripada menutupi rambut ikal yang menggulung tidak keruan.

"Ada apa, Mas?" tanyaku hati-hati sambil duduk di lantai dan mendongak memperhatikan gerak-geriknya.

"Aku kalah, Nis," katanya.

"Kalah apa?"

"Kalah cepat, kalah ambek masa lalu."

"Maksudnya?"

"Ummah nggak ngizini aku melamar Lowee." Saat mengatakan itu, aku tahu dia sedang bersusah payah untuk tidak menangis. Suara parau terdengar jelas, walau matanya tidak meneteskan air.

"Kenapa? Karena dia nggak berhijab?" Ini hanya praduga.

"Bukan. Tapi karena Mas Roshan."  Kontan pernyataannya membuatku tergelak.

"Memangnya masih berlaku, yah, adik ndak boleh melangkahi kakak?" Spekulasiku saat itu tentang Mas Byan yang dilarang mendahului Mas Roshan sebagai anak sulung.

"Bukan juga, Nis."

"Terus?"

"Karena dua hari lalu, Mas Roshan mengirim foto ke Buya. Foto perempuan yang mau dipersuntingnya. Kamu tahu, kan, gimana senangnya Ummah begitu tahu Mas Roshan menyampaikan kemauannya langsung pada Buya tanpa perantara? Emas permata lewat, Nis. Dan aku telat mengajukan keinginan."

Seperti pendongeng, Mas Byan bercerita bagaimana mendekati Ummah yang baru selesai salat Isya dan Buya sedang ada undangan pengajian. Bermodalkan foto yang  diambil dari akun Facebook Mbak Lowee, dia menyampaikan niat memperistri perempuan bermata sipit itu. Siapa nyana foto yang sama sudah masuk lebih dulu ke Buya dan Ummah.

"Terus Ummah bilang, 'By, Ummah tahu kamu karena Ummah ini embokmu. Kamu bisa, Nak, mencari perempuan lain selain Nak Lowee. Ben nggak tukaran karo dulur, kamu ngalah. Lupakan Nak Lowee dan terimalah dia sebagai kakak iparmu.' Aku sempat tanya kenapa Ummah lebih setuju dengan Mas Roshan yang menikahi Lowee ketimbang aku yang anaknya sendiri?" Dari nada dan gerak tangannya, aku tahu Mas Byan merasa semua ini tidak adil.

"Terus, apa kata Bibi?" 

"Ummah bilang, 'Beri kesempatan buat Ummah, By. Kesempatan Ummah memperbaiki masa lalu. Paling tidak, bisa memulangkan seorang anak kepada bapaknya. Buya meski terlihat tenang sebenarnya dia kesepian. Roshan itu anaknya, meski dia berusaha tidak membeda-bedakan di antara kalian, Roshan anak kesayangannya. Anak yang paling ditunggu kedatangannya.' Dari situ aku paham, Nis. Meski aku datang lebih dulu buat mengajukan lamaran yang sama, aku tetap harus mundur jika itu untuk Mas Roshan. Semua karena rasa bersalah Ummah terhadap Mas Roshan."

Aku paham soal ini. Ummah sudah lama menyimpan rasa bersalah itu, yang apik dikemas dengan senyum dan keibuannya. Bahkan, setelah Mas Roshan menikah dengan Mbak Lowee, kemudian sikap Mas Roshan hangat kembali, Ummah masih menyebut namanya di urutan pertama pada doanya. Bukan Mas Byan, Zulfa atau Zein yang anaknya sendiri, tapi Mas Roshan yang mereka bilang anak tiri.

Kalau mereka mudik, perhatian Ummah selalu berpusat kepada Mas Roshan dan keluarga kecilnya. Terutama setelah Zidan lahir.

Aku menenangkan dengan menepuk-nepuk pelan punggung tangannya. Mas Byan terlihat cukup kacau saat itu, belum lagi harus belajar menahan diri untuk tidak menghubungi Mbak Lowee. Mungkin satu mingguan dia menyimpan ponsel dalam keadaan offline di laci kamarku.

SINGLE KEDUA: Catatan dari NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang