Kabar meninggalnya Mas Roshan saat itu mengguncang bumi Qolamuz Zaman. Keluarga dalem runtuh. Salah satu tiang terkuat penyanggah kepala bangunan tumbang. Terlalu mendadak, menyesakkan, dan kesedihan itu serupa kabut yang menyelimuti keluarga besar Mustafa. Mata perih, dada sesak.
Seperti yang Ummah bilang pada Mas Byan dulu, Mas Roshan anak kesayangan Buya, anak yang paling dirindukan. Dan kabar melalui telepon di pagi hari itu membelah keceriaan. Aku melihat Buya yang membisu, Ummah yang pecah tangis, Zulfa juga sama, dan perempuan itu...
... perempuan penghuni hati suamiku sibuk menenangkan tangis itu. Gerak ripuhnya refleksi dari ketidakterimaan akan kabar itu, begitulah yang suamiku bilang di waktu menunggu jenazah.
"Mas, Mbak Lowee kok, ndak nangis ya?"
"Itu cara dia menolak. Menampakkan ekspresi biasa saja di saat tidak biasa itu caranya tidak terima keadaan." Mas Byan mengatakan itu di dapur saat menyantap makan siang yang dilewatkan sampai sore. "Aku minta tolong ya, Dik. Awasin Lowee. Pastikan dia dalam keadaan baik. Sedihnya lebih besar daripada siapa pun yang bersedih di rumah ini. Aku merasakan itu."
"Enggeh, Mas."
Lihat, lelaki yang sudah dua tahun belakangan sekamar denganku masih memikirkan perempuan masa lalunya.
"Diingatkan makannya juga, Dik. Bisa saja dia menyiksa diri karena kabar ini."
Tapi kamu ndak tanya apa aku sudah makan atau belum, Mas.
Benar perkataan Mas Byan. Ekspresi yang ditampakkan Mbak Lowee sejak kabar itu mencipta duka pagi tadi, ambyar saat jenazah Mas Roshan membujur di peti yang baru diturunkan dari ambulans.
Ketika berusaha menenangkan Ummah yang sering kehilangan kesadaran, aku menangkap sosok Mas Byan tidak berjarak jauh dari Mbak Lowee. Seperti orang yang siaga akan prediksinya.
Tanpa kusadari air mata turut membasahi pipi. Bukan karena kedukaan mendalam di keluarga kami, tapi melihat suamiku yang kentara menjaga Mbak Lowee. Sukses membuat iri; aku yang sudah dinikahi, tapi hati dan perhatiannya tidak kumiliki.
Tujuh hari kepergian Mas Roshan tidak jua melenyapkan duka. Suasana rumah yang awalnya terasa hangat, berubah dingin menyengat. Hanya tawa Zidan yang mengisi. Ummah lebih sering berdiam diri di kamar, Buya memilih iktikaf di masjid. Sedang Mas Byan?
Lelaki itu meski berada di dekatku, pikirannya jauh berada di kamar kakak iparnya.
"Dik, Lowee sudah makan?" Mas Byan memang tidak pernah menyebut perempuan masa lalunya pakai embel-embel 'mbak' saat dibicarakan denganku. Seperti dulu, ketika masih kasmaran. Mas Byan menyebutnya Lowee.
"Kurang tahu, Mas."
"Coba kamu samperin, kayaknya dia di kamarnya. Barusan aku lihat pintunya terbuka, orangnya menghadap jendela." Kepekaan Mas Byan lebih hidup kalau itu tentang Mbak Lowee, tapi tidak tentang istrinya sendiri.
Tidak peka terhadap perasaan cemburu yang setiap hari makin mengakar, mengokohkan keberadaannya di dalam diri.
"Enggeh."
Mematuhi suami adalah kewajiban selama tidak menyimpang dari agama, meski menyimpang dari keinginan. Aku mendatangi kamar di lorong menuju dapur. Pintunya terbuka, Zidan di sana, di depan bundanya yang seperti mayat hidup.
"Zul, tolong ajak Zidan main." Zulfa yang kebetulan melintas kutunjukkan pemandangan yang sebenarnya mengiris. Zidan di luar kepedulian bundanya.
"Enggeh, Mbak."
Untung Zidan lengket dengan Zulfa, sehingga bisa menjauhkan bocah itu dari luka Mbak Lowee yang kian hari kian tampak.
Bahkan sekarang pundaknya berguncang. Pertanda gempa di dadanya turut meledakkan tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGLE KEDUA: Catatan dari Nisa
SpiritualTentang kenangan yang menerungku seseorang. Stereotip pada janda tidak pernah memilah mantan siapa. Seperti Nisa yang mantan istri Gus Byan dengan pesantren besarnya turut mengalami kencang-kendur pandangan tetangga, sekalipun dia memilih bercadar. ...