Sebagian dari Nisa dan Ustaz Ali

672 56 20
                                    

Ternyata Ustaz Ali. Tidak, sepertinya sudah harus membiasakan memanggilnya Mas Ali. Sepanjang perjalanan tadi sudah sepuluh kali aku ditegur soal panggilan. Dia benar-benar ingin aku mengubah panggilan atau mungkin memang ingin lebih dekat.

Sebenarnya, hati ini tak ingin berkembang begitu mudah seperti dulu kepada Mas Byan. Ketika mekar-mekarnya, justru dicabut dan layu seketika. Pernikahan kali ini aku tak ingin terjebak dalam rasa yang yang sama sebelum memastikan perasaan Mas Ali.

Akan tetapi, hati perempuan itu memang subur. Ditanami perhatian sedikit langsung tumbuh tunas. Mas Ali yang pagi-pagi membawakan abaya hitam yang sekarang aku kenakan, kemudian mengajakku mendampinginya mengisi tausiah di Lapas Wanita di Tangerang. Hatiku sudah seperti dibajak kemudian ditaburi pupuk sebelum menyemai benih-benih cinta. Begini saja sudah membuatku merasa bahagia.

Setelah mengisi tausiah, Mas Ali mengajak makan siang. Kebetulan hari ini dia tidak mau disopiri, katanya ingin berdua saja denganku.

Lihat, bagaimana aku tidak merasa tersanjung kalau begitu?

"Kita nggak usah pulang malam ini, ya?" katanya sambil membelokkan mobil ke sebuah hotel yang tak tahu ini di daerah mana.

"Kenapa? Gimana kalau Mama menunggu?"

"Gampang. Nanti aku kabari Mama lewat telepon." Laki-laki itu memarkirkan di halaman hotel berupa gedung minimalis. "Malam ini kita bermalam di sini saja."

Detak jantungku nyaris terdengar begitu Mas Ali mengatakan itu. Apakah di sini dia akan mengoyakku dalam sebuah pelayanan seperti yang disampaikan tadi di Lapas?

Di sana dia menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban perempuan terhadap suaminya, karena memang jemaahnya perempuan semua.

Kewajiban istri adalah melayani suami, dan hak istri mendapatkan nafkah lahir-batin dari suami.

Salah satu penghuni lapas mengajukan pertanyaan mengenai hak istri. Dari pertanyaannya aku mendapatkan kesimpulan, beberapa hari lalu dia dikunjungi suaminya yang mengatakan kalau mereka secara agama bisa saja jatuh talak. Alasannya karena si suami pernah mendengar ceramah yang mengatakan, suami tidak menafkahi lahir dan batin kepada istri selama lebih dari enam bulan, maka jatuhlah talak kepada mereka secara syariat.

Mas Ali bertanya, "Antum paham soal nafkah lahir?"

"Iya, Ustaz. Seperti makan, minum, dan materi lainnya. Memang sejak masuk Lapas, suami tidak memenuhi itu. Sebab di sini kami sudah ditanggung."

"Kalau nafkah batin?" Dia kembali bertanya pada perempuan berambut sebahu itu.

Tampak malu-malu dia menjawab, "Suami saya bilang, nafkah batin itu berhubungan badan."

Lantas riuhlah ruangan itu. Seruan serentak menggema, membuat si penanya kembali duduk mungkin sembunyi dari pusat perhatian.

Aku pun tak bisa menahan tawa, apalagi ketika melihat suamiku yang duduk di mimbar menggeleng-geleng. Tampak sekali dia merasa geli dengan anggapan nafkah batin sama dengan berhubungan badan. Lalu bagaimana dengan kami?

Setelah suasana kembali tenang, Mas Ali menjawab, "Bu, nafkah batin itu bukan soal berhubungan badan saja. Nafkah batin itu menyenangkan, menenteramkan, dan membahagiakan. Ketiganya ini tidak ada tolok ukur pasti. Sebab kategori bahagia bagi satu orang dengan yang lain berbeda. Begitu juga Ibu dengan suami Ibu.

"Ibu dikunjungi ke sini senang, itu sudah nafkah batin. Berhubungan badan itu hanya salah satu cara dari sekian banyak cara membahagiakan pasangan. Lalu bagaimana dengan perempuan yang belum siap digauli? Apakah pernikahannya lantas selesai?"

Di situ aku meraba, apakah dia tengah menyindirku atau memang menerangkan apa adanya? Pernikahan ini meski tanpa hubungan badan, bukan karena aku yang tidak siap. Tetapi, dia yang selalu tidur di kamar terpisah.

"Bagaimana dengan Aisyah Radhiyallahu Anha? Beliau dinikahi Rasul pada usia enam tahun, kemudian digauli waktu berusia sembilan tahun. Itu lebih lama dari Ibu, tapi tidak ada riwayat menyatakan pernikahan Rasul dengan Aisyah jatuh talak."

"Sayang...." Suara Mas Ali memulihkanku dari lamunan.

"Eh iya, Mas."

"Waduh, kalau nggak dipanggil sayang nggak noleh-noleh dari tadi. Lagi mikirkan sesuatu?"

Dia selalu saja membuatku tersipu malu seperti ini. Tidak tahukah dia kalau kata-katanya sudah mencapai kegombalan over dosis?

"Kok, nggak dijawab?"

"Ndak ada, Mas." Aku sekuat tenaga membuat suara terdengar normal. Tidak gugup seperti jantungku yang bertalu tak tentu. "Jadi beneran kita bermalam di sini, Mas?"

Kami sudah turun dari mobil dan berjalan menuju resepsionis yang tak jauh dari pintu masuk. Di sebelahnya ada kafetaria yang dindingnya terbuat dari kaca.

Mas Ali tidak menjawab, justru menyerahkan KTP yang kemudian ditukar dengan kunci kamar. Tangannya menggandengku menuju lift.

"Kita bulan madu di sini," katanya enteng yang sukses membuat tanganku berkeringat dingin. "Menunaikan yang tertunda."

Ya salam... masih dilanjutkan. Jadi, kemesraan yang coba dia ungkapkan sepanjang hari ini untuk menebus malam pengantin yang tak terlaksana waktu itu?

=================

Assalamualaikum, teman-teman. Duh, mohon maaf lama ndak unggah Nisa. Eh, tahu-tahunya ngasih cuplikan bulan madunya Ustaz Ali sama Nisa. Hehehe...

Mungkin teman-teman sudah memprediksi Nisa akan menikah dengan Ustaz Ali. Dan aku ndak akan bohong. Mereka memang menikah.

Cuma, kalian ndak pengin tahu bagaimana Nisa menerima Ustaz Ali? Bagaimana Nisa bisa menjalani rumah tangga barunya, sedangkan bayang-bayang rumah tangga pertamanya belum lekang. Kemudian bagaimana Nisa menghadapi Gabriel, anaknya Ustaz Ali, juga bagaimana perasaan Ustaz Ali ke Nisa? Apa benar dia sudah mencintai Nisa, padahal sudah banyak yang tahu kalau Ustaz Ali ini sering memuji istri terdahulunya.

Masih banyak lagi yang mereka hadapi setelah menikah dan semua diceritakan di SINGLE KEDUA versi novel.

Iya. Mandeknya Single Kedua karena aku tengah menyelesaikan menjadi versi novel.

Nah, sebelum launching, aku mengajak teman-teman menjadi reseller dari Single Kedua.

Nah, sebelum launching, aku mengajak teman-teman menjadi reseller dari Single Kedua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau kalian bilang, "Ah, aku ndak pandai jualan." Atau, "Palingan juga untungnya sedikit."

Sekarang coba pikir begini, ndak pandai jualan... nanti akan dibimbing sama tim agar bisa menjual Single Kedua dengan baik. Soal keuntungan, tenang... Tim insyaallah memberi keuntungan yang layak. Yang paling menguntungkan lagi itu, hasil penjualan bisa buat beli  novel Single Kedua. Iya, kan?

Jadi... kayaknya cuap-cuapnya cukup sampai di sini, deh. Hehehe

Bagi yang minat jadi reseller, silakan wa ke nomorku: 087880117791

Terima kasih. 😘😘😘

SINGLE KEDUA: Catatan dari NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang