Pingitan

720 85 43
                                    

"Nisa pakai gamis sajalah, Mi," kataku pada Umi yang membawakan katalog beragam busana pengantin muslimah. Sejak kedatangan keluarga Ustaz Ali kemarin, dan tanggal pernikahan ditentukan, keluargaku hilir mudik mengurusi persiapan pernikahan.

Mereka memilih hari pernikahan pada awal bulan Rabiul Tsani. Entahlah, katanya tidak baik menunda pernikahan terlalu lama, apalagi status kami yang janda-duda sudah menjadi bukti siap menikah lahir dan batin.

Halah, lahir dan batin. Siapa yang tahu soal batinku? Siapa yang bisa mengerti perasaanku? Bahkan orang yang mereka sebut calon suamiku itu sampai saat ini tidak pernah menghubungiku. Tidak seagresif dulu waktu taaruf. Bahkan terlalu pasif.

"Nis!"

"Eh, iya, Mi." Aku gelagapan saat tangan Umi menepuk paha.

"Iki yang dijak ngomong pikirane nang endi-endi."  (Ini yang diajak bicara pikirannya ke mana-mana)

Aku tersenyum menanggapi omelan Umi barusan. "Kan, Nisa bilangnya mau pakai gamis saja, Mi."

"Iki, mangkane ngerunguno omongane wong tuo. Ini permintaan Ummah. Ummah yang sengaja pilihkan katalog busana muslimah ini. Katanya, model-modelnya cocok buat yang pakai cadar."

Aku menghela napas mendengar Ummah disebut dan jadi biang dari semua ini.

"Sebenarnya Nisa ini anak Umi apa anak Ummah? Jelas anak Umi dan Abah, kan? Wajah Nisa saja mirip Umi. Kenapa Ummah yang repot sama pernikahan Nisa? Gedung yang pilih Ummah, WO yang nentuin Ummah, sekarang baju pengantin. Ya, meski semua melalui persetujuan Nisa. Sebenarnya Nisa ini mau menikah sama Ustaz Ali atau sama anak Ummah?"

Umi tersentak sejurus kemudian meletakkan majalah katalog tadi sedikit keras di kasur, di samping tempat aku duduk. Mungkin kalau ada nyamuk di sana, sudah mati dibuatnya. Tanpa kata-kata lagi Umi beranjak menuju pintu kamar. Dari gelagatnya aku tahu dia marah. Dan sebelum keluar dari kamar, Umi menoleh.

"Sikapmu kalau terus-terusan begitu laki-laki dari surga pun enggan menikah denganmu. Bukan cuma Ustaz Ali." Sinar mata menyalang itu seperti merobek hatiku. Kemurkaannya sangat kentara dari gurat-gurat merah di wajah tua nan lesu itu. "Ingat, Nis, Byan bukan satu-satunya laki-laki yang bisa kamu cintai. Ada banyak kesempatan dan waktu untuk mengubah perasaanmu. Tapi itu tergantung kamu mau apa ndak. Umi capek."

Pintu itu menghilangkan punggung yang mulai melengkung ke depan. Bagai tangkai bunga layu. Umi pergi setelah menggelegarkan petir amarahnya. Sangat jarang Umi berkata sedemikian kerasnya, dan baru kali ini aku merasa disalahkan. Dulu, waktu memilih meninggalkan Mas Byan, tidak pernah Umi atau Abah menyalahkan aku. Mereka lebih menyalahkan diri sendiri karena merasa gagal. Tapi kali ini beda. Jelas Umi menyalahkan aku.

Dan barusan, Umi bilang laki-laki dari surga enggan menikahiku? Begitu burukkah sikapku ini? Begitu burukkah bagi orang yang mendamba cinta?

Pertanyaan itu mengiris hati, melukai diri dengan air mata sebagai darah. Entah apa yang kutangisi. Di sini yang kurasa sepi. Tak ada yang memihakku, tak ada yang sekubu denganku, tak satu pun. Bahkan sampul katalog itu terasa dingin, seolah-olah ikut enggan denganku.

Kubuka lembarannya, ada model berpose dengan busana muslimah warna merah muda pastel. Senyumnya merekah. Seperti ingin mencerminkan perempuan yang memakai busana itu di hari pernikahan, hidupnya akan bahagia.

Mungkinkah busana pernikahan mempunyai efek demikian pada kehidupan?

***

Amarah Umi kemarin ternyata genjatan senjata. Buktinya sejak itu di rumah ini terjadi perang dingin. Aku melawan Umi, dan Abah yang tak memihak siapa-siapa kentara lebih condong pada Umi. Bicara padaku seperlunya, kadang menjadi mulut kedua Umi ketika harus menyampaikan sesuatu kepadaku.

SINGLE KEDUA: Catatan dari NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang