Kedatangan Ummah dan Buya berhasil merenggut kantuk. Sudah pukul tiga dini hari, tapi hati yang resah mengganjal mata. Aku tidak bisa lelap meski sekejap.
Biasanya, Nalini datang lewat pesan dengan nasihat-nasihatnya. Tapi pesan terakhirku saja tidak dibaca, apalagi mengirimi pesan nasihat.
Mungkin begini cara Allah memanggilku di saat orang-orang bergelung di bawah selimut. Aku ke kamar mandi, mengambil wudu dan salat lail. Allah akan membimbingku.
Ketika berjalan menuju kamar mandi, suara orang mengaji terdengar dari kamar Umi, disahuti zikir. Senangnya punya pasangan yang begini. Sampai tua mereka bersama, kompak dalam kebaikan.
Di Kota Malang air di pagi hari serupa es. Dingin walau tak membekukan. Enggan memang, menyentuhnya akan membangunkan bulu kuduk yang tidur . Tapi Allah akan mencatat setiap tetes air yang digunakan bersesuci menjadi pahala.
"Gimana, Bah, kita manut mawon kale saran Kaji Mustafa?" Aku mendengar pertanyaan Umi saat melintas kembali ke kamar.
"Nisanya gelem?"
"Kata Kaji, Nisa purun. Abah tahu Ustaz Ali itu yang mana?"
"Belum, Mi. Tapi kata Mustafa, wonge apik. Pernah menjabat sebagai ketua MPO di Qolamuz Zaman." MPO itu akronim dari Majelis Pertimbangan Organtri. Sentral dari struktural keorganisasian santri di Pesantren Qolamuz Zaman. "Berarti dia orang kepercayaan Mustafa."
"Tapi Umi ragu, Bah. Apa Nisa betul-betul sanggup menerima anaknya Ustaz Ali?"
"Itu yang Abah pikirkan, Mi. Nisa nggak kayak kebanyakan anak perempuan yang suka anak-anak. Sama ponakan-ponakannya saja dia jarang kumpul, apalagi bermain." Kudengar Abah menarik napas, dan mengembuskan kemudian lalu berkata, "Tapi daripada jadi fitnah terus menerus, Umi harus bujuk Nisa sampai gelem."
"Enggeh, Bah."
Aku pergi meninggalkan pintu kamar Umi dan Abah. Menampar-nampar sajadah dengan sujud panjang. Dalam sujud itu aku menggugat Allah lewat doa, meminta petunjuk yang baik.
Aku pernah memilih menikah karena situasi, dan tidak ingin terjebak dua kali. Masih segar dalam ingatan masa itu.
Kota Malang sedang gerimis. Seperti rutinitas setiap tanggal lima belas bulan Hijriah, Qolamuz Zaman mengadakan istigasah bersama di paviliun. Sanak famili datang, beberapa wali santri yang warga sekitar ikut dalam acara itu. Setelah acara, aku duduk di ruang tengah. Ruangan yang jarang dimasuki santri.
Mas Byan datang menemaniku di sana, Umi dan Abah masih di paviliun bersama Buya dan Ummah.
"Nis, Ummah minta aku nikahin kamu."
Karena tak ada perasaan lebih, aku biasa saja mendengar pernyataan Mas Byan. Lebih seperti negosiasi.
"Terus?" tanyaku karena sejujurnya bingung harus bagaimana menanggapinya.
"Kamu mau jadi istri aku?"
Aku diam.
"Ini berat, loh. Kamu tahu betul gimana perasaanku, keadaanku, kesulitanku."
Aku tahu. Aku tahu laki-laki berbaju koko dengan sarung merah bata di hadapanku malam itu masih belum bisa melupakan perempuan yang sudah menjadi kakak ipar. Itulah kesulitannya, dipaksa melupakan orang yang malah justru makin dekat dengannya. Harus satu atap ketika pulang ke Malang, padahal perasaannya belum juga tuntas.
"Kamu sanggup?" tanyanya padaku yang masih terdiam lama tanpa sahutan.
Dan itu mampu membuatku menghela napas sebelum menjawab, "Memang, sih, ndak ada orang lain yang bisa jadi istri Mas. Kalau dipikir-pikir, cuma aku yang tahu betul semua tentang derita Mas. Jadi, ya cuma aku yang paling bisa Mas pegang."
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGLE KEDUA: Catatan dari Nisa
SpiritualTentang kenangan yang menerungku seseorang. Stereotip pada janda tidak pernah memilah mantan siapa. Seperti Nisa yang mantan istri Gus Byan dengan pesantren besarnya turut mengalami kencang-kendur pandangan tetangga, sekalipun dia memilih bercadar. ...