Hilang

489 80 35
                                    

Kalau boleh dibilang, Abah pulang dengan tangan kosong tiga hari lalu, ketika mengatakan akan menemui Ustaz Ali. Memang tidak ada pembicaraan berarti lagi mengenai ini, Abah juga tidak membahas soal Ustaz Ali berikut mimpi-mimpi hasil Istikharahnya.

Awalnya aku senang, setidaknya melegakan tak lagi membicarakan perihal pernikahan. Namun, bersamaan dengan itu, Ustaz Ali juga tak muncul kabarnya.

Bukan rindu, jelas bukan. Rindu itu milik orang yang hatinya bertautan. Tapi aku merasa tak nyaman dengan pesan terakhir yang menohok waktu itu. Tentang cinta yang dia jaga sedemikian rupa, dipersembahkan bagi wanita yang menjadi haknya.

Sedang aku mendamba cinta ada sebelum pernikahan diselengarakan. Agar meyakinkan, dengannyalah Allah menjodohkan.

Terakhir dilihat hari ini pukul 11.59, itu yang tertulis di akun WhatsApp Ustaz Ali. Berarti dia baik-baik saja, karena masih bisa online.

"Bodoh! Kenapa aku terkesan menunggu pesan dari dia?"

"Dari siapa, Nis?" Umi ternyata sudah berdiri tak jauh dari kursi dan meja tempatku duduk sekarang.

"Oh, dari Dedek Wardah, Mi. Itu loh, Mi, penulis yang kapan hari minta Nisa nulis." Beruntunglah laptop bisa dijadikan bukti meyakinkan dari pernyataanku barusan.

Umi sudah berdiri di belakangku, memegang pundak sembari mengelus lembut. "Di luar ada Bu RT, katanya mau ketemu kamu.

"Ada keperluan apa memangnya, Mi?"

"Umi ndak tahu." Seorang ibu selalu ingin membuat anaknya tenang. Begitu juga dengan Umi yang dari gusarnya aku bisa menebak, pasti ada yang tidak beres. Makanya, memilih memberi jawaban samar.

"Kira-kira soal apa Bu RT mau ketemu Nisa? Masa ndak cerita dulu ke Umi?

Gugup Umi yang kian jelas lewat repetisi gerak bibir tak beraturan itu semakin meyakinkan, perkara besar tengah menunggu.

"Ini soal murid-muridmu," jawab Umi kemudian. Aku tahu itu bukan perihal vitalnya. Karena itu aku mendahului Umi untuk sampai di ruang tamu, bertemu dengan Bu RT yang didampingi Bu Ningsih.

"Assalamualaikum, Bu. Maaf, lama menunggu," sapaku sambil duduk di sofa berseberangan dengan dua perempuan itu. Di hadapan mereka, teh panas masih mengepulkan asap. "Monggo, diminum. Maaf, ndak ada suguhan."

"Waalaikumussalam. Nggak apa-apa, Ning. Pripun, Ning? Sehat?" Sekapur sirih yang lumrah Bu RT ucapkan. Mungkin itu bentuk usahanya agar lebih dekat dan terlihat peduli terhadap warga.

"Alhamdulillah, Bu. Sehat." Tidak lupa senyumku mengembang agar tampak meyakinkan pernyataan. "Ngapunten, wonten nopo enggeh?"

"Nggak ada apa-apa, Ning. Saking mau tanya gimana kelanjutan kelas privat yang Ning Nisa bimbing?"

"Loh, Bu RT ndak tahu kabar? Muridnya sampun buyar. Telas. Tinggal Fachri anaknya Bu Sukma." Jelas Bu RT tahu, buktinya dia tidak menampakkan keterkejutan meski aku sampaikan dengan ekspresi darurat.

Memang, dulu setelah pulang dari dalem, Bu RT yang mengimbau ibu-ibu PKK agar anak mereka ikut kelas privatku. Belakangan aku tahu, Bu RT menarik simpati mereka dengan menceritakan kisah tragis rumah tanggaku.

Siapa yang tidak iba mengetahui suamiku menikahi kakak iparnya, kemudian meninggalkan istri pertamanya. Berbulan-bulan kisah ini menuai simpati yang luar biasa. Mereka mendukungku agar bangkit, lebih percaya diri, dan tentunya memberiku pekerjaan. Guru privat.

Tidak ada keahlian selain membagi ilmu, itu alasan kenapa aku menerima tawaran Bu RT dulu.

"Mungkin sudah waktunya Ning Nisa mengajar di yayasan, agar pendapatannya stabil setiap bulan," usul Bu Ningsih yang baru buka suara sejak aku duduk di depan mereka.

SINGLE KEDUA: Catatan dari NisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang