mama

780 41 0
                                    

"Apa sih, Mak. Nyuruh-nyuruh mulu!"

"Jadi anak jangan males, bantu beresin rumah. Main hp mulu!" Mamaku nggak kalah kenceng. Kalau udah begini, siap-siap. Kalau nggak nurut, bisa-bisa hak jajanku dicabut.

"Iya, Mak. Lala nyapu nih."

"Jangan lupa abis itu buang sampah, sapu teras, siram bunga sekalian."

"Ma ...." Baru saja mau protes. Mamaku udah menampakan sinar lesernya di mata. "Iya, deh."

Selalu begini kalau hari lubur. Ada saja yang harus ku kerjakan. Nyapu, ngepel, nyuci piring. Kadang suruh lari cepet ke warung, cuma buat beli mecin.

Waktu terus berjalan. Kini aku sudah tumbuh dewasa, waktunya kerja. Cari uang buat tabungan. Mamaku nangis, saat aku izin pergi dari rumah. Karena aku dapat pekerjaan di luar daerah.

"Rajin salat, jangan malas salat subuh. Nanti rezekinya dipatok ayam."

"Ih, Mama. Dari dulu sampai sekarang, bilangnya rezeki dipatok ayam." Mama terkekeh mendengar jawabanku.

Aku merantau di ibu kota bersama temanku. Dia bernama Sasa. Anak kesayangan mamanya. Tidak jarang aku iri padanya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya, dan selalu memanjakannya. Dikasih kebebasan, tanpa banyak perdebatan.

Tidak seperti aku, selalu saja jadi Upik Abu di rumah. Dengan ku pergi dari rumah, ada sedikit plong di dada. Bebas dari ocehan dan ceramah dari mama.

Kebetulan aku dan Sasa dapat tawaran kerja dari sang pamannya Sasa di kota. Bahagia, aku langsung menerima.

"Sasa, Lala. Besok kalian interview, sekarang istirahat dulu. Siapkan mental kalian besok, ya."

"Siap, Paman," jawabku dan Sasa bersamaan.

Setibanya di sini, Paman Madi langsung mengajak ke kontrakan yang sudah disiapkan untuk kami.

"Tenang, La. Pamanku yang bayar."

Tiba hari interview. Setelah semua pertanyaan aku jawab dengan lancar. Kini langsung coba terjun ke pekerjaan. Aku dan Sasa beda bidang.

"Lala!"

"Iya, Pak."

"Kamu ke ruangan saya."

Tanpa menolak aku langsung menurutinya.

Setelah kerja, menuruti bos ke sana ke mari. Akhirnya aku bisa pulang, ke kontrakan.
Terdengar Sasa sedang nangis. Ada pamannya juga, menenangkan.

"Sasa, kamu kenapa?"

"Aku nggak jadi diterima. Katanya aku manja, nggak mau disuruh-suruh. Padahal kan aku cuma nanya-nanya, emang salah."

Pamannya mengedipkan mata padaku, dengan jari telunjuk diletakan di mulut. Aku hanya mengangguk.

Sasa terus sesegukan. Padahal ia ingin kerja menghasilkan uang, agar bisa membanggakan orang tuanya. Namun, ia belum terbiasa melakukan pekerjaan sendiri.

Aku jadi inget mama. Mama selalu menyuruhku di rumah, tidak jarang ocehan memekakan telinga pun sering ia lontarkan. Dan aku sering melawan. Tapi sekarang, aku mau berterima kasih sama mama. Berkat mama, aku jadi anak kuat.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang