4 - Senin Pulang Sekolah

16 1 0
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Caca duduk di halte dengan tenang. Menikmati riuh suara kendaraan yang berlalu lalang. Melihat beberapa siswa yang terlihat juga menanti sepertinya. Ia menunggu Ardit menjemputnya seperti janjinya tadi pagi.Caca yang merasa bosan, memilih untuk mengeluarkan teleponnya yang tersimpan dalam tas. 

Ia memilih membuka galeri untuk melihat beberapa foto dirinya dan Ardit. Di sana, terlihat jelas jika mereka terlihat bahagia. Jujur saja, selama ini, Arditlah yang membuat Caca bangkit dari keterpurukannya. Arditlah yang menjadi alasan Caca hidup. Ardit juga yang menjadi alasan Caca untuk  kuat menerpa kehidupan yang begitu sesak.Sebelum mengenal Ardit, ia tak pernah tahu apa tujuan hidupnya. Seringkali keinginan bunuh diri menghantuinya. Tak jarang juga, ia melukai dirinya. 

TIN TINNN

Suara klakson menyadarkan dirinya. Ia menatap ke depan dan melihat Ardit yang masih duduk di motor dan melihatnya. Caca segera memasukkan telepon ke dalam tasnya dan segera berjalan menuju Ardit. Ia melihat Ardit yang sibuk dengan helm untuk dirinya.

"Dit, kita langsung pulang?" tanya Caca setelah menghapus jaraknya dengan Ardit.

Ardit hanya menganggukan kepala sebagai jawaban.

"Yahh, padahal aku pengen jalan-jalan. Udah lama kita gak pernah berduaan dit," ucap Caca dengan berusaha merayu Ardit yang saat ini menatapnya dengan dalam. Caca sangat suka dengan tatapan Ardit. Menurutnya, tatapan Ardit begitu dalam dan ada makna yang tersimpan di dalamnya. Tapi, entah mengapa tatapan kali ini sangat berbeda dari biasanya.

"Ca.."

"Hem," jawab Caca dengan segera menggunakan helm untuk memutuskan tatapan Ardit agar ia tak semakin jatuh dalam tatapan kekasihnya itu.

"Kamu pasti juga mau jalan-jalan kan?" tanya Caca menggoda Ardit yang memang gengsi untuk mengajaknya berkencan. Ia tersenyum dengan malu-malu kala mengatakan itu.

"Ada yang mau aku omongin."

"Apa?"

"Kita udahan ya?"

Caca yang merasa salah mendengar membuatnya menatap Ardit dengan sepenuhnya. Entah ada yang salah dengan pendengarannya atau memang itu benar adanya. Ia masih menatap Ardit yang saat ini tak mau menatap ke arahnya. 

"Aku capek."

"Capek karna pulang sekolah?" tanya Caca dengan begitu lugunya.

"Aku capek sama sikap kamu yang kekanakan."

DEGG

Kali ini jelas sekali ia tak salah mendengar. Bahkan, ia sangat bisa melihat Ardit yang penuh dengan kesadaran saat mengatakan hal tersebut. Entah mengapa dadanya begitu sesak. Rasanya bahkan sangat sulit bernafas. Seperti sesuatu menghantam ke dadanya dengan begitu kuat tanpa aba-aba.

"Ak-aku bisa merubahnya? Aku kekanakan kayak gimana? Jangan serius kayak gini. Suasananya jadi aneh,"  ucap Caca dengan berusaha memperbaiki suasana. Ia berusaha tersenyum dan menahan air mata yang entah mengapa seolah ingin meluncur ke pipinya.

"Gak Ca, gak ada yang bisa dirubah."

"Bisa kok-"

"Gak bisa Ca."

"Dit, pulang yuk!" 

"CA!" ucap Ardit lebih tegas. Bahkan, suaranya saat ini lebih tinggi dari pada biasanya. Salah, lebih tepatnya baru pertama kali ini Ardit membentaknya. Ia menatap Ardit yang kali ini menatapnya juga begitu dalam. Tapi tak ada kelembutan di sana, yang ada hanya kemarahan yang terlihat begitu jelas di matanya.

"Gak ada yang perlu di rubah Ca. Kita selesai ya!" Ucap Ardit yang kembali seperti biasanya, namun dengan tatapan yang masih menakutkan baginya.

"Gak Dit-"

"CA! GAK ADA YANG PERLU DIRUBAH. HUBUNGAN YANG DIULANG ITU SEPERTI KITA MEMBACA NOVEL YANG SAMA, SAMA AJA-!"

"TAPI KITA GAK BERAKHIR DIT!" Ucap Caca dengan suara yang ikut meninggi. Ia mengatur nafasnya yang saat ini tak beraturan. Sungguh, hal ini lebih menyesakkan dari pada berlari mengelilingi lapangan.

"Kita gak berakhir dan kita gak mengulang, hubungan kita masih sama, kita akan berubah menjadi lebih baik," ucap Caca dengan lemah. Air matanya kini tak mampu lagi untuk ia tahan. 

"Enggak Ca!"

"Kamu yakin pengen udahan? Kita bisa perbaiki lagi mulai dari awal," Ucap Caca yang berusaha meyakinkan Ardit dengan suara seraknya. Rasanya tubuh Caca saat ini sungguh sangat lemas sekali. Tak ada tenaga sedikitpun yang tersisa. Bahkan, untuk berbicara saja ia merasa tak punya tenaga.

"Aku yakin," jawab Ardit begitu mantap dan tegas menatap Caca. Arditpun tak mengerti mengapa ia merasa akhir-akhir ini begitu malas dengan sikap Caca. Biasanya, sikap Caca yang kekanakan menjadi barisan paling utama untuk ia rindukan. Ia pun sebenarnya tak tega mengatakan hal ini terhadap Caca. Namun, ia sudah berpikir ribuan kali. Dan kali ini, ia baru mempunyai keberanian untuk mengatakannya pada Caca.

Sedangkan Caca saat ini sudah tak mampu lagi untuk menatap Ardit. Ia memilih meletakkan helm kuning kesukaannya di spion dengan asal. Ia memilih tak mengucap satu kata pun untuk menjawab pernyataan Ardit. Terlalu sakit untuknya jika harus mengiyakan keinginan Ardit untuk pergi dari hidupnya.

Caca membalikkan badan. Ia melangkahkan kakinya dengan asal. Ia sungguh tak mampu jika terus-terusan bertatapan dengan Ardit. Air matanya kini mengalir deras tanpa peduli siapapun yang akan melihatnya. Ia masih tetap terus berjalan dengan menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan tangisnya. Fakta yang membuat Caca lebih sesak adalah tak ada tanda-tanda Ardit mengejarnya. Ia masih terus berharap jika semua ini adalah mimpi belaka.

Ia tak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba matanya terasa begitu berat. Ia juga tak bisa melihat ke arah depan dengan jelas. Ia merasa tubuhnya semakin lemah dan tiba-tiba semuanya berubah jadi gelap.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








The LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang