Caca bangun dengan penuh semangat. Ia bangun lebih awal sebelum sang ibu membangunkannya. Ia menggulung rambutnya lalu berjalan untuk menuju kamar mandi.Setelah beberapa menit, ia keluar dengan badan yang sedikit lebih harum. Caca membuka lemari lalu mengambil seragam seninnya. Ia dengan cepat memakai seragam itu lalu berias diri.
Sebenarnya, ia bukan merias diri, hanya sedikit menaburkan bedak pada wajahnya. Ia melihat ke arah cermin, melihat bedaknya yang tak bepengaruh apapun pada wajahnya. Membuat dirinya tak lagi bersemangat ketika merasa jelek.
"Bodo amat, jelek-jelek gini pacarnya juga ganteng," ucap Caca dengan penuh percaya diri lalu segera mengambil tasnya.
Ia mengambil jam tangan putih kesukaanya yang tak pernah ia lupa. Lalu ia segera memakai di tangan kirinya. Tertawa dalam hati ketika melihat jam yang menunjukkan pukul enam kurang satu menit.
Satu..
Dua...
Tiga...
"CAAAA BANGUNN!" teriak ibunya yang sangat ia hafal.
"Iyaaa.." Caca menjawab dengan gembira sebelum membuka pintu kamarnya.
Ia melihat sang Ibu yang masih berdiri di depan kamarnya.
"Pagi mama tercinta..."
"Mama gundulmu," jawab ibu Caca dengan membalikkan badannya untuk kembali ke dapur.
"Biar keren gitu manggilnya mama," jawab Caca dengan mengekori ibunya.
"Kalo orang kaya mah bebas mau panggil apa aja. Wong kita ini orang miskin, malu sama hutang."
"Emang ada aturanya gitu kalo miskin gak boleh manggil mama?"
"Kamu mau manggil apapun juga, aku tetep ibumu yang mengandung dan melahirkanmu."
"Asiapp. Aku panggil bibi aja gitu."
"Anak gila!"
Caca tertawa terbahak-bahak karna berhasil mengerjai ibunya. Ia segera duduk di kursi makan. Lalu melihat makanan yang telah tersaji dengan begitu rapi.
"Wah ayam goyeng enak mantaff," ucap Caca dengan begitu bersemangat.
"Najis ibu dengernya," ucap Ibu Caca dan ikut duduk di kursi dekat Caca.
Caca segera mengambil piring di dekatnya lalu mengambil nasi dan segera diserahkan pada koki handal di rumahnya. Ia juga mengambil nasi untuknya.
"Makan yang banyak biar pinter," ucap Ibu Caca dengan mengambilkan ayam untuk Caca.
Tinn Tinn
"Siapa Ca?" tanya ibu Caca dengan masih menyuapkan nasi ke mulutnya. Biasanya tak pernah ada yang datang ke rumah mereka, apalagi sepagi ini lalu membunyikan klakson. Dasar gak tau sopan santun.
"Aelah, ganggu aja," kesal Caca lalu bangkit dari duduknya. Ia berjalan untuk segera keluar rumah melihat siapa yang datang. Ia segera berlari untuk membuka pagar ketika melihat siapa yang datang. Helm dan motor hitam yang sangat ia hafal.
"Ardit!" Sapa Caca dengan begitu semangat.
"Haii," jawab Ardit dengan senyum yang sangat sumringah.
"Kok tumben ke rumah," Ucap Caca dengan begitu malu-malu. Ia merapikan rambutnya dengan melirik ke arah kanan dan kiri untuk menghindari tatapan Ardit.
"Iya jemput kamu."
"Beneran?" tanya Caca dengan begitu bahagia.
"Iya, ayok berangkat."
"Bentar, aku ngambil tas dulu ya," Ucap Caca dengan segera berlari ke dalam rumah. Ia melihat sang Ibu yang menatapnya dengan penuh kebingungan.
"Kenapa seneng banget?" tanya Ibu Caca karna melihat senyum Caca yang begitu lebar.
"Ardit ternyata jemput," jawab Caca segera mengambil tasnya.
"Kamu gak jadi makan?"
"Enggak aja deh, kasian Ardit."
"Ya Ardit diajak makan sekalian lah,"
"Kasian, nanti telat."
"Yaudah ibu bekalin ya!"
"Gak usah, aku berangkat dulu aja ya," ucap Caca dengan segera membawa tangan sang Ibu untuk diciumnya.
"DASAR BUCINNNN!" teriak Ibu Caca dengan tertawa melihat anaknya yang begitu terlihat menyayangi Ardit.
Caca hanya membalikkan badan sebentar lalu memeletkan lidahnya. Ia menutup pintu dengan pelan lalu segera berlari ke arah Ardit.
Apapun nanti pilihan hidupmu, semoga tetap bahagia dan ada aku dalam setiap kejadiannya. Batin Ibu Caca dengan tersenyum melihat Caca yang telah menghilang tertelan pintu.
"Dit ayo berangkat!" ajak Caca ketika telah berhadapan dengan Ardit.
"Nih pakai helmnya," perintah Ardit dengan menyerahkan helm putih yang ia bawa untuk Caca.
Ardit segera menaiki motornya lalu disusul oleh Caca yang naik di belakangnya. Seperti biasanya, Caca melingkarkan tangannya untuk memeluk Ardit. Sudah lama sekali ia tak merasakan ini.
Ardit adalah pacar Caca yang pertama. Begitupun sebaliknya, Caca juga cinta pertamanya Ardit.
Mereka saling diam menikmati perjalanam. Menikmati setiap detik yang terasa sangat indah. Memang benar, jika cinta itu memang luar biasa. Mampu membuat siapapun merasa memiliki dunia dan seisinya.
"Caa," panggil Ardit yang sedikit tak jelas karna terbawa angin yang berhembus.
"Apa dit?" tanya Caca dengan membuka kaca helmnya. Ia sedikit susah berbicara ketika kaca helmnya tertutup. Selain suaranya yang tak jelas, ia juga mendengar ucapan Ardit yang tak cukup jelas.
"Nanti pulang aku jemput ya."
"Kok tumben," tanya Caca dengan heran. Mereka jarang sekali berangkat bersama apalagi pulang bersama. Hanya beberapa kali waktu mereka awal-awal dekat.
"Emang gak boleh?" tanya Ardit dengan tawanya yang terdengar sangat merdu di telinga Caca.
"Iyadeh. Mana bisa aku nolak?" Ucap Caca dengan semakin mempererat pelukannya.
Mungkin, Tuhan menghadirkan Ardit untuknya untuk melengkapinya. Namun menurutnya, Ardit tak hanya melengkapi namun, menyempurnakan hidup Caca. Tak ada yang perlu dijelaskan. Semuanya terlampau indah jika hanya diungkapkan dengan kata. Biarkan waktu yang mencatat semua jejak rasa. Caca hanya berharap agar kebahagiaan ini tak berakhir.
Tuhan terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost
Novela Juvenil"Semua orang berhak jatuh cinta, semua orang juga berhak meninggalkan. Seolah, rasa bukanlah suatu hal yang menakjubkan. Bisa ada dan menghilang begitu saja karna sebuah kesalahan. Aku adalah Caca. Manusia yang tak akan pernah lagi jatuh cinta. Kar...