7- Hari Selasa 2

14 0 0
                                    



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Caca membuka pintu dengan pelan. Kepalanya menelusup untuk melihat sekitar. Ia tak menemukan tanda-tanda ibunya di rumah. Rumah terasa sepi dan sunyi. Derap langkah Caca menelusuri rumah.

"Bu!" panggil Caca untuk memastikan keberadaan ibunya. Ia melangkahkan kakinya menuju dapur. Di sana tak ada ibunya, bahkan jejaknyapun tak ada. Ia tak menemukan wajan bekas masakan atau tumpukan piring yang biasanya menggunung dan akan menjadi tugas Caca untuk membersihkan.

Caca beralih menuju kamar Ibunya. Ia berjalan dengan sedikit lemas karena banyak yang ada di pikirannya. Apalagi jika bukan memikirkan tentang hubungannya yang telah usai. Caca mengetuk pintu dengan pelan ketika telah sampai di depan kamar berpintu putih itu.

"Buuu!" panggil Caca dengan sedikit lebih keras. Caca masih menunggu suara dari dalam kamar. Nyatanya, tak ada jawaban dari sana. Mungkinkah ibunya sedang menjaga resto? Caca memilih meninggalkan kamar itu beralih menuju ke kamarnya.

Ia membaringkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Masih menggunakan pakaian yang diberikan ibu cantik tadi. Rasa sesak kembali lagi menelusup ke dalam dadanya. Ia masih mengingat jelas kejadian saat Ardit memutuskan dengan sepihak. Rasanya, dunianya begitu hancur dan hilang sekejap saja. Ia merasa tak punya tujuan hidup sekarang. Yang ia rasa hanya begitu sakit dan kecewa.

Bayangkan ketika seseorang menjadi alasanmu untuk hidup telah meninggalkanmu dengan begitu saja. Layaknya hidupmu bergantung pada obat dan obat itu sekarang tak bisa dikonsumsi lagi. Tak tahu harus apa, hanya menunggu kematian dengan rasa sakit.

DRTTT DRTTT

Suara getaran membuatnya harus terpaksa bangkit dari posisi terbaringnya. Ia mengambil tas yang ada di sampingnya dengan malas. Mengambil telepon yang menampilkan nama ibu memanggil di layarnya.

"Halo!" jawab Caca serak setelah menggeser tombol hijau.

"Di mana kamu woiy?!" tanya sang ibu dengan suara luarbiasanya.

"Udah di rumah ini. Ibu di mana?" tanya Caca dengan menahan tangisnya. Ia tak mau menunjukkan kesedihan ini kepada ibunya. Baginya, sudah cukup ibunya menanggung semua kepahitan dan kesedihan hidup.

"Ibumu lagi liburan ini. Kan udah ibu bilang dari kemarin-kemarin," ucap sang Ibu di sebrang sana dengan suara yang terlihat begitu bahagia. Caca ikut tersenyum dengan sendirinya ketika mendengar suara sang ibu.

"Anaknya sakit malah ditinggal. Dasar ibu-ibu rempong," ucap Caca dengan bermaksut menggoda sang ibu.

"Udah terlanjur beli tiket. Lumayanlah cuci mata. Udah dulu ya nanti telpon lagi!" ucap Ibu yang memutuskan telepon secara sepihak. Caca hanya tertawa melihat tingkah ibunya yang menurutnya sangat lucu itu.

Tuhan, aku ingin sekali untuk pergi. Tapi siapakah yang menjaga ibunya nanti. Ia tak punya harapan sama sekali untuk hidup. Ia tak tahu tujuan hidupnya untuk apa. Untuk membahagikan ibunya? Justru, ialah yang merepotkan ibunya. Gara-gara adanya dirinya, ibu dan ayahnya harus berpisah. Untuk Ardit? Kini, Ardit telah meninggalkannya.

Ia ingin sekali menceritakan segala masalahnya. Mungkin, satu-satunya yang mau mendengarkan segala kepedihan hidupnya adalah Nanda. Caca segera mengotak-atik teleponnya lagi. Mengetik dengan cepat nama Nanda di kotak pencarian menu kontak dan segera memanggilnya. Caca menunggu suara deringan itu terhenti dan tergantikan dengan suara Nanda yang menyapanya. 

Panggilan tak terjawab.  Caca tak putus asa, ia menelepon Nanda lagi. Deringan ke tiga, Caca tersenyum ketika ada pertanda Nanda mengangkat teleponnya.

"Halo Nan? Lo dimana?" tanya Caca dengan menghapus air matanya. Ia berusaha untuk mengeluarkan suara sebaik-baiknya.

"Di rumah. Abis bangun tidur gue," jawab  Nanda dengan suara serak yang membuktikan ia baru bangun tidur. 

"Najis lo Nan. Jam berapa ini?! Udah jam satu!"Heran Caca melihat kelakuan sahabatnya yang lebih buruk darinya.

"Kemarin habis nonton drakor gue."

"Gue mau curhat, dengerin gue bentar!" 

"Yaelah nanti aja. Gue mau tidur lagi Hoah," jawab Nanda dan diakhiri menguap yang sungguh memuakkan telinga Caca.

"Bentar doang aelah Nan!" 

"Nanti aja, gak usah sok-sokan paling menyedihkan deh. Kuat aja pokoknya hidup mah. Gue mau lanjut tidur bye!" Ucap Nanda dan diakhiri mematikan telepon dengan sepihak. 

Sedangkan Caca hanya tertawa melihat kelakuaan sahabatnya itu. Adakalanya hidup memang seperti itu. Tak ada yang menguatkan kecuali diri sendiri. Banyak orang yang mendengarkan tetapi mereka tak bisa untuk melangkah ke tahap peduli. Banyak juga orang yang peduli tapi belum ke tahap memahami. Yang jelas, semua butuh didengarkan, dipedulikan dan dipahami. Namun, jangan berharap orang lain untuk menguatkan. Karna sejatinya kekuatanmu adalah pikiranmu.











Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



The LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang