"Dont tell to anyone about ur secrets. cuz even walls has ears"
-Author🌻🌻🌻🌻🌻
Dengan kaca mata hitam yang bertengger pada batang hidung, lelaki itu berjalan pelan di dalam badan pesawat untuk mencari nomor tempat duduknya. Mulutnya berdecak sebal mengingat betapa teganya Johnny merusak liburannya di Korea dengan mempercepat kepulangan mereka ke US.
"Here you are~" gumam Jeffrey saat menemukan yang ia cari.
Alih-alih hendak duduk di kursinya, tubuh lelaki itu malah terpaku menatap orang yang berada tepat di sebelah bangkunya-- sedang menghadap ke arah jendela pesawat.
"Something wrong?" tanya wanita itu, seketika mengembalikan kesadaran Jeffrey.
"Uhm.. nothing," lelaki itu duduk dengan kikuk. "You're just too...pretty."
"Ew, boys!" balas wanita itu membuang muka sambil memijit sebelah pelipisnya.
Jeffrey menatap botol jus yang belum sempat ia buka, lalu mengarahkan botol itu kepada gadis di sebelahnya. "Take it. Untuk meredakan sakit kepala mu."
"You flirt, aren't you? Nice try."
Jeffrey terkekeh geli mendengarnya, "you don't look very well and im just trying to help."
Wanita itu menatap Jeffrey penuh selidik. Yang benar saja, ia memang masih merasa pusing akibat minum terlalu banyak semalam. Setelah berpikir sesaat, jemari wanita itu kemudian meraih botol Jus yang Jeffrey arahkan kepadanya kemudian meneguknya.
Alis lelaki itu berjengit saat matanya menangkap beberapa tanda kemerahan ketika syal yang terbalut pada leher wanita itu sedikit mengendur.
Jeffrey kemudian berdehem, "Kau akan berlibur ke US?"
"US is my hometown."
"Same," Jeffrey menganggukkan kepala-nya, matanya masih tertuju pada wanita itu, "anyway... Im Jeffrey."
Selang beberapa detik, wanita itu melirik, "Emily."
Setelah perkenalan singkat itu, Jeffrey menarik nafas dan membuangnya perlahan. Ia mengedarkan pandangannya kedepan dengan ekspresi tenang.
"Jeffrey, wanita yang kau tiduri semalam bukanlah bitch. Tapi karena dia tidak mengingat mu, maka itu bukan lagi sebuah masalah."
🌻🌻🌻🌻🌻
Javier memarkirkan mobilnya tepat di sebuah penthouse 2 lantai bernuansa modern. Dalam sekejap, kaki nya sudah berdiri di depan pintu bangunan itu dengan kepala tertunduk menatapi layar ponsel.
"Kemana dia?" gumamnya, untuk sekian kali panggilan yang ia lakukan di jawab oleh operator.
Javier menekan bell, namun tak ada jawaban. Ia menengadah untuk melihat keadaan rumah tersebut. Keningnya sontak mengerut saat melihat benda pipih berbentuk persegi terlihat dari sela-sela pentilasi. Dengan tubuh yang tinggi itu, tentu Javier tidak kesulitan untuk meraihnya.
Piìip
Suara itu terdengar bersamaan ketika Javier membuka pintu dengan benda itu. Di ruangan yang cukup luas, matanya tertuju pada pintu hitam yang berada di pojok ruangan. Javier lalu membuka ruangan tersebut kemudian menyalakan lampu.
"Berantakan sekali." gumamnya menyadari ruangan itu penuh dengan foto.
Javier lalu meraih gambar tersebut, ada gambar pemandangan dengan matahari terbenam, sepasang kekasih yang sedang berciuman di pantai, ada pula anak-anak yang berlarian. Javier tersenyum mengetahui bahwa poto yang diambil itu memiliki kesan yang indah.
Saat akan meletakkan kembali gambar itu pada tempatnya, Javier tertegun melihat beberapa poto lain yang terdapat pada ujung meja. Ia meraih gambar itu, mata nya menajam seketika.
Ia tak menyangka akan menemukan banyak poto Johnny disana. Poto saat Johnny di bandara, di Hotel, bahkan ada beberapa poto saat masih SMA, dan semua di ambil tanpa sepengetahuan Johnny.
"Sejak kapan dia kenal Johnny?" desis Javier entah kepada siapa.
"What the--" alis Javier kian menyatu semakin dalam saat ia juga menemukan poto Park Jo Byung, Klien yang gagal ia temui sore ini karena kematian mendadak.
Ia mengedarkan pandangan, menelisik setiap sudut ruangan itu. Kepalanya tertunduk saat ia menginjak sesuatu lalu berjongkok dan menemukan dua botol kecil disana, bertuliskan Arsenik.
Segera ia meraih ponsel, mendekatkan layar pipih itu ke telinga.
"Racun jenus apa yang ada di makanan ku waktu itu?" tanya Javier terburu saat panggilannya di jawab.
"Itu jenis Arsenik."
Javier menegang, mulutnya terbuka sedikit dengan tatapan yang tak lepas dari botol di tangannya.
"Aneh nya racun itu hanya ada di dalam makanan Johnny."
"Kau tau apa yang lebih aneh lagi, Javier? Racun jenis itu illegal dan sulit ditemui. Aku yakin kalau Johnny sedang di incar seseorang saat ini."
_________
Ruang yang temaram bukan sebuah kendala bagi wanita itu menjalankan aksinya. Entah bagaimana ia bisa lolos dari penjagaan ketat hingga akhirnya tiba di kamar itu.
Ia berjalan pelan, bahkan mampu meredam suara dari sepatu hak tinggi nya saat melangkah. Tepat disisi tempat tidur berukuran besar, ia berdiri. Wanita itu mengangkat revolver dan mengarahkannya ke seseorang yang tengah tertidur pulas di sana.
"Its time to turn in and you gotta sleep soundly, Okay, Sweetheart?"
detik kemudian ia menekan pelatuk sehingga tubuh yang di tembak tersentak. Selimut white-ish yang membalut tubuh itu kian bernoda merah. Wanita itu tersenyum puas melihatnya.
Tuck!
Wanita itu mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan dirinya akan penerangan lampu kamar yang tiba-tiba saja menjadi terang. "Shit!" umpatnya pelan.
"Long time no see~"
Ia kian beralih ke asal suara. Jemarinya terkepal kuat saat menemui Johnny tengah bersandar pada pintu kamar.
Johnny menatap wanita itu santai, "Why? You didnt expect i still alive?"
Laki-laki itu kemudian melirik mayat yang tengah bersimbah darah di ranjangnya. Ia berdecak, "Wrong target, Alexa..."
-
-
-
to be continuedMuehehehe ada yang mau ditanyakan, teman teman? Mungkin soal alurnya? Atau mungkin mau nanya soal aku? Eak. Atau ada yang mau di sampein ke aku? Sampein duit, misalnya. HAHA.
Thankyou for reading! See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
lacuna.
Fanfictionla-cu-na (red) ləˈk(y)o͞onə (noun) a blank space, a missing part,- an unfilled place. Johnny selalu meneriaki kedua saudaranya-- Jeffrey dan Javier untuk menghindari masalah dan bahaya sebisa mungkin, justru kini tidak dapat mengontrol dirinya. Ada...